Last Edited 27 Mei 2019
Opini.
Editor: M. Ganang W dan Impiani
PENULIS: Bambang D. Waluyo
COPYRIGHT © IREC INDONESIA 2019
Aksi yang terjadi di Indonesia pada 22 Mei yang menuntut Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas dugaan kecurangan dalam pemilihan serentak di inodnesia sempat meramaikan dunia maya di Indonesia. Peritiwa tersebut menjadi acuan besar bagi Indonesia dalam menjalankan pemerintahannya dalam sistem demokrasi. Namun kita juga masih harus melihat seberapa besar tindakan pemerintah dan masyarakat Indonesia sendiri dalam menjalankan sistem demokrasi. Dari peristiwa tersebut, kita masih bisa melihat bahwa perjalanan demokrasi Indonesia masihlah belum dewasa.
Indonesia masih belum terlepas dari belenggu arogansi dan otoritarianisme, baik dari tindakan pemerintah dalam merespon aksi maupun masyarakatnya dalam menyampaikan pendapatnya dalam aksi tersebut. Dari peristiwa tersebut kita dapat melihat bahwa pengetahuan dari pemeritah maupun masyarakat mengenai nilai nilai demokrasi masih terbelenggu oleh pengetahuan tentang sistem pemerintahan Indonesia pada masa Orde Baru. Tulisan ini sendiri membagi pembahasan tersebut kedalam dua topik besar, yang pertama adalah tentang respon pemerintah Indonesia mengenai aksi 22 Mei yang masih terpaku pada sistem penyelesaian masalah yang berdasarkan pengetahuannya dari masa pemerintahan otoriter Indonesia pada masa Orde Baru. Sedangkan pembahasan kedua adalah bagaimana masyarakat Indonesia yang terlalu percaya akan suatu sistem penyelesaian masalah yang berbasis kekerasan dan kerusuhan yang sebenarnya merugikan bagi mereka sendiri.
Indonesia dan Pengetahuannya dalam Penyelesaian Aksi Anarkis
Dalam usahanya untuk mengelola dan menyelesaikan permasalahan demosntrasi pada 22 Mei, pemerintah terlalu terpaku atas pengalaman-pengalamannya pada masa pemerintahan Orde Baru. Seperti adanya badan bernama Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menjadi alat utama pemerintah untuk melakukan kontrol politik dan untuk menangani berbagai macam pemberontakan sipil seperti mahasiswa maupun kaum muslim (Matanasi, n.d.). Sebagai solusi dari permasalahan tersebut, Pemerintah Indonesia seakan berlebihan dalam meresponnya melalui pengerahan prajurit Brigade Mobil (Brimob) yang dikerahkan dari hampir seluruh wilayah yang ada di Indonesia (Aji, n.d.; Zhacky, n.d.). Penggunakan militer dalam permasalahan sipil memang menjadi ciri khas dari sistem pemerintahan yang otoriter, karena seharusnya militer hanya difokuskan pada isu dan permasalahan menyangkut kedaulatan dan bukan menghadapi masyarakat sipil. Perluasan fungsi dari militer dalam penanganan permasalahan sipil melenceng dari nilai demokrasi dan kebebasan.
Ditambah lagi dengan adanya pembatasan pengunaan sosial media sebagai intrumen informasi dan telekomunikasi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang seakan menyegarkan kembali ingatan kita tentang bagaimana pembatasan informasi oleh pemimpin otoriter agar dapat mengontrol informasi yang beredar di masyarakat (Affan, n.d.). Kebijakan pembatasan informasi dan telekomunikasi ini juga telah melenceng dari nilai demokrasi dan kebebasan. Terlepas dari tujuannya yang “mulia” bagi pemerintah, pembatasan informasi dan komunikasi tersebut juga mampu mengikis rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah dan kerugian materiil. Dalam merespon aksi tersebut pemerintah Indonesia melakukan pembatasan akses terhadap berberapa media sosial seperti Facebook, Whatsapp dan Instagram, dan mengakibatkan banyak masalah lainnya (“Daftar Media Sosial yang Dibatasi Sejak Ricuh 22 Mei,” n.d.; Palopo & Amir, n.d.). Meskipun tindakan pembatasan ini tidak persis sama seperti periode Orde Baru, namun tindakan tersebut dilandasi oleh pengetahuan pemerintah Indonesia terhadap peristiwa yang sudah terjadi pada masa sebelumnya. Secara tidak langsung, tindakan-tindakan tersebut dipengaruhi oleh sisa-sisa pengetahuan yang diwariskan dari pemerintahan Orde Baru.
Masyarakat dan Kepercayaannya Mengenai Tugas Instrumen Pemerintah
Dari peristiwa 22 Mei ini juga kita mampu melihat “kedewasaan” masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi. Pada dasarnya, peristiwa ini muncul karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap instrumen pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Meskipun dalam penerapan demokrasi upaya penyampaian pendapat di depan umum harus dihargai, tapi tidak seharusnya peserta aksi melakukan tindak kekerasan terhadap aparat pengamanan. Pengetahuan masyarakat terhadap aparat pengamanan yang tidak bersifat netral dan tidak membela hak-hak masyarakat membuat kita berfikir apakah masyarakat Indonesia belum move on dari pikiran mereka mengenai pemerintahan yang otoriter. Hal tersebut sejalan tentang bagaimana masyarakat indonesia cukup merindukan keadaan seperti pada masa Orde Baru (Affan, n.d.).
Rasa tidak percaya ini diwariskan dari kelamnya pemerintahan Indonesia pada masa Orde Baru. Hal tersebut dikarenakan pada masa itu pihak keamanan hanyalah perpanjangan tangan dari penguasa baik dalam bidang politik, kemanan maupun ekonomi (Hariyanto, 2006). Oleh karena itu, mereka sangat khawatir akan keberadaan pihak militer dalam usaha pembubaran aksi melalui militer. Warisan-warisan pengetahuan seperti inilah yang menjadi penghambat dari tumbuhnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat Indonesia yang terlanjur terkekang oleh pemikiran mereka mengenai warga negara dan negara yang baik. Ketika masyarakat masih terkekang dengan pengetahuan ini dan pemerintah yang masih mewarisi sistem penyelesaian masalah melalui pengetahuannya dari masa sebelumnya mengakibatkan rasa saling tidak percaya dan keadaan yang serupa dari masa Orde Baru.
Kesimpulan
Dari peristiwa tersebut, kita dapat melihat Indonesia masih terperangkap dalam pengetahuannya mengenai pemeritahan yang otoriter. Tidak hanya dari sisi pemerintah yang mewarisi pengetahuan mengenai penyelesaian masalah dari masa lalu tersebut, tetapi juga masyarakat Indonesia yang belum bisa move on dari pandangan-pandangan sinis terhadap aparatur negara, terutama pihak kemanan yang terkesan masih menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah yang haus akan kekuasaan. Akibatnya, Indonesia masih terperangkap dalam kondisi demokrasi yang masih kental dengan nuansa otoritarianisme.
Daftar Pustaka
Affan, H. (n.d.). Orde Baru dibenci, Orde Baru dirindukan – BBC News Indonesia. Retrieved May 26, 2019, from https://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/11/131125_lapsus_suharto_stabiltas_dulu_sekarang
Aji, M. R. (n.d.). Hoaks Polisi Cina di Aksi 22 Mei, Polisi: Mereka Brimob Sumatera – Nasional Tempo.co. Retrieved May 26, 2019, from https://nasional.tempo.co/read/1208974/hoaks-polisi-cina-di-aksi-22-mei-polisi-mereka-brimob-sumatera
Daftar Media Sosial yang Dibatasi Sejak Ricuh 22 Mei. (n.d.). Retrieved May 26, 2019, from https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190523073143-185-397654/daftar-media-sosial-yang-dibatasi-sejak-ricuh-22-mei
Hariyanto, E. (2006). PERAN POLITIK MILITER (ABRI) ORDE BARU TERHADAP DEPOLITISASI POLITIK ISLAM DI INDONESIA (Studi Terhadap Hegemoni Politik Militer Orde Baru Terhadap Politik. Retrieved from http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8279/1/EDHY HARIYANTO-FSH.pdf
Matanasi, P. (n.d.). Kopkamtib Dibentuk demi "Aman dan Tertib" ala Orde Baru – Tirto.ID. Retrieved May 26, 2019, from https://tirto.id/kopkamtib-dibentuk-demi-aman-dan-tertib-ala-orde-baru-cKHr
Palopo, L., & Amir, A. (n.d.). Dampak Pembatasan Media Sosial Penjualan "Online" Anjlok. Retrieved May 26, 2019, from https://regional.kompas.com/read/2019/05/25/11264241/dampak-pembatasan-media-sosial-penjualan-online-anjlok
Zhacky, M. (n.d.). Lewati Kerumunan Massa Aksi 22 Mei, TNI Diteriaki “Bersama Rakyat.” Retrieved May 26, 2019, from https://news.detik.com/berita/d-4559739/lewati-kerumunan-massa-aksi-22-mei-tni-diteriaki-bersama-rakyat