PENULIS: MUHAMMAD FATAHILLAH
EDITOR: Impiani & Fajar Purnomo Adi
COPYRIGHT © IREC INDONESIA 2019
Sebuah tinjauan atas tulisan Dani Rodrik. (2011). The Globalization Paradox: Damocracy and the Future of the World Economy. New York: W.W. Norton & Company
Globalisasi menjadi suatu fenomena yang melekat kuat pada kehidupan manusia terutama di era milenial sekarang ini. Hal itu karena globalisasi telah memengaruhi segala aspek kehidupan manusia khususnya yang berhubungan dengan ekonomi, informasi dan komunikasi. Maka, globalisasi dapat didefinisikan sebagai ekspansi aktivitas perekonomian yang melampaui batas-batas politik negara bangsa (nation state).[1] Globalisasi juga mengacu pada proses perluasan hubungan global untuk mengonsolidasikan kehidupan masyarakat.[2] Berdasarkan definisi tersebut, muncul dua rumusan masalah, yakni kapan globalisasi dimulai? dan apakah globalisasi merupakan fenomena baru atau fenomena lama dalam hubungan internasional?
Globalisasi mulai menjadi topik utama yang banyak dikaji oleh para akademisi ilmu hubungan internasional pada tahun 1990-an atau pasca Perang Dingin. Berakhirnya Perang Dingin sering kali dikaitkan dengan era kontemporer (globalisasi) sehingga banyak pengamat yang menjadikan momen tersebut sebagai titik awal dalam membahas isu-isu kontemporer global.[3] Namun menurut Dani Rodrik, era pertama globalisasi sebenarnya terjadi beberapa abad sebelum tahun 1914.[4] Selama abad ketujuh belas dan abad kedelapan belas, perdagangan dunia mengalami pertumbuhan hingga mencapai 1 persen per tahun.[5] Kemudian pada abad kesembilan belas, perdagangan dunia tumbuh dengan sangat pesat hingga mencapai 4 persen per tahun.[6] Hal itu terjadi karena biaya transaksi yang menghambat perdagangan jarak jauh seperti kesulitan transportasi dan komunikasi, pembatasan pemerintah, risiko terhadap kehidupan dan properti menurun secara drastis.[7]
Pendapat yang senada dengan Dani Rodrik dikemukakan oleh Deepak Nayyar, seorang akademisi dari Universitas Jawaharlal Nehru, New Delhi, India. Menurut Deepak Nayyar, globalisasi bukanlah suatu fenomena yang baru sebab fase awal globalisasi terjadi pada tahun 1870-1914.[8] Dani Rodrik dan Depaak Nayyar dapat dikategorikan sebagai “kaum historis” yang memandang globalisasi sebagai fenomena lama dalam hubungan internasional berdasarkan fakta-fakta sejarah dunia, sedangkan di sisi lain terdapat “kaum kontemporer” yang memandang globalisasi sebagai fenomena baru dalam hubungan internasional. Pandangan kaum kontemporer didasarkan pada rasionalisasi bahwa globalisasi merupakan buah dari revolusi informasi yang terjadi selama Perang Dingin.[9] Pada periode tersebut, teknologi informasi dan komunikasi mengalami perkembangan secara progresif sehingga menyediakan infrastruktur dasar bagi proses integrasi dunia khususnya di bidang ekonomi.[10]
Steven Slaughter mengategorikan penganut globalisasi menjadi tiga kelompok, yaitu hiperglobalis, skeptis dan transformasionalis. Kelompok hiperglobalis meyakini globalisasi sebagai suatu fenomena yang nyata dan baru sebab globalisasi dianggap sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan kapitalisme.[11] Kelompok skeptis memandang globalisasi sebagai suatu fenomena yang tidak baru dan tidak nyata.[12] Kelompok ini menganggap globalisasi sebagai mitos belaka karena hanya meneruskan proses ekonomi internasional yang telah berlangsung sejak lama dan elemen penggerak utamanya adalah kapitalisme.[13] Kelompok transformasionalis menganggap globalisasi sebagai fenomena nyata namun merupakan suatu proses panjang yang terpisah.[14] Globalisasi telah melalui proses panjang dari perubahan teknologi, ide, dan institusi sehingga berakibat pada perubahan aktivitas manusia yang melewati dimensi ruang dan waktu.[15]
Selanjutnya terjadi perdebatan di antara para akademisi mengenai dampak positif dan dampak negatif dari fenomena globalisasi yang telah melanda dunia dewasa ini. Menurut Dani Rodrik, globalisasi menjanjikan akses bagi setiap orang menuju ke pasar (markets), teknologi (technology) dan sumber daya modal (capital) serta membantu menumbuhkan pemerintahan yang baik (good governance).[16] Namun faktanya, globalisasi hanya menguntungkan korporasi besar sehingga menyisihkan keadilan sosial bagi rakyat di suatu negara.[17] Sedangkan menurut Joseph E. Stiglitz, globalisasi menawarkan harapan berupa peningkatan standar kehidupan dengan memberi kemudahan akses bagi negara miskin untuk menjual barang-barangnya ke luar negeri dan membuka investasi asing.[18] Namun faktanya, globalisasi justru menciptakan ketimpangan sosial, pengangguran, ketidakmampuan produk lokal untuk bersaing dengan produk global dan lain sebagainya.[19]
Robert Gilpin mengemukakan adanya 3 perspektif yang berbeda dalam perdebatan tentang globalisasi dan konsekuensinya. Pertama adalah perspektif pasar bebas dari para ekonom, pemimpin bisnis dan pemimpin politik yang mendukung penuh globalisasi sehingga menentang pengaturan ketat terhadap perekonomian dunia.[20] Kedua adalah perspektif populis-nasionalis dari individu atau kelompok kepentingan seperti buruh, importir dan nasionalis-ekonomi yang menentang globalisasi sehingga menganjurkan pembatasan terhadap kegiatan perdagangan bebas, investasi asing serta keberadaan perusahaan multinasional.[21] Ketiga adalah perspektif komunitarian dari orang-orang berhaluan kiri seperti aktivis lingkungan dan pendukung hak asasi manusia yang percaya bahwa globalisasi menghasilkan pencemaran lingkungan, hierarki dan eksploitasi.[22]
Sedangkan mengenai hubungan negara dengan pasar, Dani Rodrik melihat adanya perbedaan yang kontras antara kondisi pasar sebelum globalisasi dan kondisi pasar sesudah globalisasi. Pada era sebelum globalisasi, kegiatan perekonomian dilaksanakan (diatur) oleh negara.[23] Negara berperan sebagai penyedia wadah bagi pelaksanaan investasi, industri, informasi dan pembangunan individu yang penting untuk meningkatkan indeks perekonomian nasional.[24] Dengan demikian, negara adalah aktor utama yang bertugas menjaga stabilitas perekonomian nasional.[25] Namun pada era setelah globalisasi, peran negara dalam kegiatan perekonomian dibatasi atau bahkan dihilangkan.[26]
Fenomena pengurangan peran negara dalam kegiatan perekonomian setelah proses globalisasi dikonsepsikan oleh Dani Rodrik sebagai akibat dari “the globalization trilemma”. Konsep tersebut menjelaskan bahwa sebuah negara tidak dapat menerapkan secara penuh 3 hal sekaligus, yakni: demokrasi, kedaulatan nasional dan globalisasi.[27] Sebuah negara hanya mungkin menerapkan 2 dari 3 hal tersebut, sehingga harus ada 1 hal yang dikorbankan.[28] Misalnya, jika negara ingin mempertahankan globalisasi, maka negara harus mengorbankan salah satu dari dua hal, yakni: demokrasi dan kedaulatan nasional.[29] Kemungkinan penerapan 2 dari 3 hal tersebut kemudian disebut sebagai “Theory of Impossibility”.[30]
Berdasarkan seluruh penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa saat ini terdapat banyak definisi tentang “globalisasi” dalam hubungan internasional. Akan tetapi, semua pengamat sepakat untuk memandang globalisasi sebagai suatu proses. Globalisasi bukanlah suatu fenomena sosial yang baru terjadi dalam hubungan internasional. Akan tetapi konsep globalisasi mulai memengaruhi beragam literatur di dalam ilmu hubungan internasional pada periode 1990-an. Sementara itu, pandangan kritis menyatakan bahwa globalisasi merupakan agenda negara-negara besar yang dipaksakan kepada negara-negara kecil (negara yang lebih lemah). Hal itu dapat dilihat dalam tindakan Inggris yang memaksa kekaisaran Cina untuk membuka perdagangan opium secara bebas dengannya. Begitu pula upaya serupa yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap kekaisaran Jepang sebelum era Restorasi Meiji.
Globalisasi menjanjikan peleburan negara-bangsa ke dalam suatu entitas global yang saling bekerja sama untuk melakukan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Namun di balik itu, globalisasi memiliki dua wajah yang berbeda (positif dan negatif) sehingga menghasilkan suatu paradoks (pertentangan). Daya tarik terhadap kajian globalisasi dan konsekuensinya merupakan bentuk keprihatinan para akademisi atas perubahan sosial, ekonomi dan politik yang diakibatkan oleh fenomena tersebut. Maka, banyak akademisi dan praktisi sosial yang memperdebatkan peran, pengaruh, serta dampak globalisasi bagi kehidupan umat manusia dewasa ini.
DAFTAR REFERENSI
Devetak, R., Burke, A., & George, J. (2012). An Introduction to International Relations. Cambridge: CUP.
Friedman, Thomas L. (2000). Understanding Globalization: The Lexus and The Olive Tree. New York: Anchor Books.
Gilpin, Robert. (2000). The Challenge of Global Capitalism: The World Economy in the 21st Century. New Jersey: Princenton University Press.
Nayyar, Deepak. (2006). Globalization, History and Development: A Tale of Two Centuries. Cambridge Journal of Economics, 30 (1), 137-159.
Rodrik, Dani. (2011). The Globalization Paradox: Damocracy and the Future of the World Economy. New York: W.W. Norton & Company.
Shahzad, Aisha. (2006). What is Globalization-Historical Background. Jadavpur Journal of International Relations, 10 (1), 204-212.
Stiglitz, Joseph E. (2006). Making Globalization Work. New York: W.W. Norton & Company.
Winarno, Budi. (2011). Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS.
[1] Aisha Shahzad, “What is Globalization-Historical Background”, Jadavpur Journal of International Relations, Vol. 10, No. 1 (2006), hlm. 204.
[2] Ibid.
[3] Budi Winarno, Isu-Isu Global Kontemporer (Yogyakarta: CAPS, 2011), hlm. 15.
[4] Dani Rodrik, The Globalization Paradox: Democracy and the Future of the World Economy (New York: W.W. Norton & Company, 2011), hlm. 24.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Deepak Nayyar, “Globalization, History and Development: A Tale of Two Centuries”, Cambridge Journal of Economics, Vol. 30, No.1 (2006), hlm. 138.
[9] Thomas L. Friedman, Understanding Globalization: The Lexus and The Olive Tree (New York: Anchor Books, 2000), hlm. 3-9.
[10] Ibid.
[11] Steven Slaughter, “Globalizations and Its Critics”, dalam Richard Devetak, Antony Burke dan Jim George, An Introduction to International Relations (Cambridge: CUP, 2012), hlm. 386-397.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Dani Rodrik, Loc. Cit., hlm. 137.
[17] Ibid.
[18] Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work (New York: W.W. Norton & Company, 2006), hlm. 12-19.
[19] Ibid.
[20] Robert Gilpin, The Challenge of Global Capitalism: The World Economy in the 21st Century (New Jersey: Princenton University Press, 2000), hlm. 293-394.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Dani Rodrik, Loc. Cit., hlm. 16-21.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid., hlm. 184-207.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid.