Dalam melihat hukum international, terdapat perbedaan cara pandang antara pemikir hubungan internasional (HI) dan pemikir hukum internasional (IL). Bagi pemikir IL, hukum internasional akan mengarah pada hak asasi manusia atau hukum hak asasi manusia internasional dan international environmental law. Sedangkan dalam pandangan HI akan terbagi kedalam berbagai macam paradigma yang berbicara mengenai institusi, regim, norma dan organisasi dibandingan perjanjian, konfrensi dan customary law. Dalam paradigma HI terdapat problem solving theories seperti realisme, liberalisme, konstruktivisme dan institusionalisme. Salin itu juga ada paradigma lain yang menganut critical theories seperti marxisme dan feminisme. Prespektif HI menggambarkan hukum internasional kedalam bentuk organisasi internasional seperti Institusi Internasional, Organisasi Internasional, Regime Internasional, organisasi non-negara dan sejenisnya. Dalam tulisannya, Adamson melihat hukum internasional dari semua paradigma yang ada:[1]
- Realisme
Dari sudut pandang realisme, realisme pesimis terhadap hukum internasional. Realisme percaya bahwa aktor utama dalam hubungan internasional adalah negara, sehingga tidak ada institusi yang memiliki kedaulatan lebih tinggi dari negara. Karena itu, institusi dan organisasi internasional yang membentuk hukum internasional tidak lebih dari perpanjangan tangan dari negara untuk mencapai kepentingannya.
- Liberalisme
Liberalisme percaya bahwa dengan adanya intitusi dan organisasi internasional akan membantu menciptakan dunia yang damai dengan membatu negara-negara untuk saling berkomunikasi dan menjalin relasi, karena banyak dari anggota institusi dan organisasi internasional merupakan negara demokrasi dan negara demokrasi tidak akan saling berperang. Selain itu, hal tersebut juga membantu menciptakan transparansi dalam komunikasi antar negara. Liberalisme tetap meyakini negara sebagai aktor utama, tapi juga percaya bahwa organisasi internasional (IO) dan organisasi non-negara (NGO) sebagai aktor lain yang mewakili masyarakat.
- Institusionalisme
Institusionalisme konsisten dengan apa yang di sampaikan realisme dan liberalisme, mereka percaya bahwa institusi internasional sebagai fasilitas bersama dalam mencapai national interest yang tidak dapat di capai sendirian oleh negara. Mereka percaya bahwa institusi internasional nantinya akan mampu bertahan sendiri secara otonomi setelah terbentuk.
- Konstruktivisme dan english school
Mereka percaya bahwa ada faktor non-material dalam memahami politik internasional. Negara percaya bahwa ada nilai “negara yang baik” dengan bergabung dengan institusi internasional. Sedangkan bagi English School, percaya bahwa ada nilai dan norma yang di bagi dalam institusi internasional, dimana hal tersebut dapat selalu berubah.
- Marxisme dan feminisme
Marxisme percaya bahwa institusi internasional hanyalah alat dari negara core untuk meng eksploitasi negara peri-peri. Sedangkan feminisme berpendapat bahwa hukum internasional hanyalah refleksi dari gendered international order.
Dalam hal ini, para pemikir hubungan internasional melihat hukum internasional berdasarkan prespektif yang mereka gunakan masing-masing sehingga tidak ada kejelasan tunngal mengenai hukum internasional. Kemudian yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, apakah hukum internasional merupakan sebuah hukum?. Menggunakan tulisan Basak Cali yang berjudul Perspective on international relation in international law dalam buku international law in international relation, Cali menggambarkan hukum internasional melalui pemikiran John Austin (1750-1859) yang merupakan seorang positivist teori hukum yang mendefinisikan bagian yang terpenting dari hukum adalah kemampuannya untuk memaksa subjeknya untuk mematuhi hukum tersebut.[2] Sehingga, karena tidak adanya kekuatan yang mengikat dalam hukum internasional, bagi Austin hukum internasional bukan sebuah hukum. Meskipun masih ada pemikir-pemikir hukum positivisme yang masih percaya dengan hukum internasional Pellet (1992) yang percaya bahwa sumber mengikat dari hukum internasional merupakan kemauan dari negara untuk mematuhi hukum internasional.[3]
Dari pemikiran-pemikiran diatas, kita dapat mengetahui hukum internasional tetaplah sebuah hukum karena kemampuannya dalam mengikat setiap negara yang telah menyetujui dan tergambung didalammnya. Meskipun, terlepas dari masih adanya negara yang melanggar dan memanfaatkan hukum internasional sebagai alat untuk meraih kepentingannya, hal tersebut dikarenakan kemampuannya untuk melihat celah dalam hukum internasional. Seperti yang dapat kita pahami melalui paradigma HI dalam problem solving theories seperti realisme, liberalisme, konstruktivisme dan institusionalisme, mereka masih percaya terhadap hukum internasional yang memiliki fungsi mengikat. Meskipun bagi realisme, kehadiran hukum internasional masih di pandang negatif karena kehadiran negara kuat dalam memanfaatkan hukum internasional untuk kepentingannya, namun tanpa kehadiran hukum internasional bagi negara lemah semakin memperburuk posisinya dalam politik internasional yang anarki. Karena dengan kehadiran hukum internasional dan institusi internasional, negara lemah masih memiliki kesempatan untuk memperkuat posisinya dengan membangun norma dan nilai baru di insitusi.
Sedangkan paradigma lain yang menganut critical theories seperti marxisme dan feminisme hadir untuk mengoreksi celah-celah dalam institusi dan hukum internasional agar dapat menjadi lebih adil dan tidak menjadi alat yang hanya dapat dimanfaatkan oleh negara kuat. Meskipun paradigma-paradigma tersebut tidak memberikan solusi dalam pemikirannya, namun hal tersebut menjadi tugas kita bersama pemikir-pemikir lainnya untuk menjadikan institusi dan hukum internasional menjadi instrumen hukum yang bersih dan adil dalam mengatasi permasalahan dan isu-isu internasional yang tidak bisa diatasi dengan cara bilateral antar negara.
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas adalah hukum internasional tetap merupakan sebuah hukum yang memiliki sifat mengikat bagi negara yang menjadi anggota yang telah menyetujui perjanjian-perjanjian tersebut dan negara tetap harus menghormatinya dengan cara mematuhinya. Meskipun tetap harus ada negara dominan yang memiliki power lebih untuk membantu menegakan aturan-aturan tersebut. Setiap negara juga tetap akan mematuhi dan menghormati hukum internasional karena tanpa kepatuhan dan penghormatan terhadap hal tersebut, mereka dapat terkucilkan dan kesulitan dalam perpolitikan internasional.
[1] Fiona B. Adamson, Prespective on international law in international relations, dalam: International Law in International Relations, Oxford University Press, 2010, hal. 27-43.
[2] Basak Cali, Perspective on international relation in international law, Op.Cit.hal. 73.
[3] Ibid. hal.74.