Penulis: Andi Wirapratama
Perang Saudara Libya Jilid Dua kini memasuki fenomena baru. Jika sebelumnya adalah pertempuran antara Qaddafi vs Anti-Qaddafi, maka dalam perjalanannya dia berubah menjadi pertarungan dua hegemoni dan kekuatan regional Sunni di Timur Tengah. Yakni antara New Forces (Turki-Qatar-IM) vs Old Forces (UAE-Saudi-Mesir-Anti IM). Lalu ada Prancis-Rusia yang cenderung ke Old Forces dan ada Italia yang cenderung ke New Forces. Di sisi lain, ada Tunisia dan Aljazair yang berkepentingan menjaga perbatasannya dan menginginkan stabilitas Libya.
Kubu-kubu ini mendukung pihak yang berbeda. New Forces mendukung GNA (semacam senat) yang dipimpin Fayez Al Sarraj. GNA diisi oleh para Islamis IM dan kelompok pro demokrasi, orang-orang Berber dan sebagian pro qaddafi. GNA merupakan pemerintahan yang sah dan diakui oleh internasional termasuk PBB, terlepas dari fakta bahwa pemerintahan GNA kurang stabil dan kurang efektif kedaulatannya. Basisnya ada di Tripoli dan Libya Barat.
Old Forces mendukung HOR (semacam DPR) dan Jenderal Belqasim Haftar (yang bermasalah dari segi HAM), yang disupport oleh elit-elit lama pro qaddafi, kubu SALAFI MADKHALI (Demi Tuhan ini ironi), sebagian kubu sekuler. Basisnya di Tobruk dan Libya Timur. Meski TIDAK DIAKUI PBB dan kubu internasional, kubu ini sangat kuat karena perlengkapan lebih baik, tentara yang terlatih dan adanya support secara finansial dari UAE dan bantuan serangan udara dari Mesir. Belum lagi bantuan tentara bayaran Wagner dari Rusia (yang punya hubungan dekat dengan Putin).
Old Forces sudah jelas ingin mengembalikan Timur Tengah yang lama, yakni kembalinya rezim militer dan otoriter yang dikuasai oleh orang kuat, guna menghancurkan kelompok IM dan kelompok-kelompok pro demokrasi. Pasca Kudeta Militer di Mesir (2013), kelompok Old Forces berupaya melakukan “ekspor” nilai-nilai lama itu keseluruh Timur Tengah, termasuk ke Afrika Utara. Tunisia yang merupakan simbol suksesnya demokrasi dan Arab Spring merupakan sasaran mereka, Walhasil, Libya yang merupakan tetangga Tunisia, menjadi jalur loncatan Old Forces di Afrika Utara.
Old Forces juga sangat khawatir dengan pengaruh Turki di Timur Tengah, dan juga dukungan Turki terhadap kelompok Islamis dan IM di Mesir, Suriah, dan Sudan.
Ini dirasakan sendiri oleh Saudi dan UAE. Sistem pemerintahan mereka jelas berupa kerajaan yang berbasis kesukuan, yang legitimasinya kian melemah sebagai efek dari Arab Spring yang pro demokrasi. Ini belum lagi isu kedekatan mereka dengan Israel yang kini semakin mempublik. Kondisi ekonomi yang melemah akibat jatuhnya harga minyak dan pandemi Corona memperparah itu. Turki dan sekutunya di New Forces pun masih menyebarkan pengaruhnya di udara (medsos, televisi, dll), dimana mereka mempromosikan pengaruhnya lewat medium budaya, sejarah Ottoman, Islamisme dan kharisma Erdogan.
Mesir disisi lain ingin mengamankan perbatasan di seluruh sisi Mesir. Kalau GNA menang, Mesir akan TERJEPIT DI TIGA SISI.
Pertama, di barat di perbatasan dengan Libya. Jika Libya dikuasai GNA, kelompok pro demokrasi dan pro IM akan mudah untuk bersembunyi di Libya atau bahkan dapat melancarkan serangannya dan perang gerilya dari perbatasan barat. Ini ancaman bagi Mesir sebab daerah di barat ini luas sekali perbatasannya. Dan daerah ini terdiri dari gurun yang luas, sehingga menjadi tempat persembunyian yang empuk karena sulit diawasi.
Kedua, di Timur, di wilayah Sinai, daerah ini masih belum stabil karena banyaknya militan dan bahkan ISIS di kalangan suku-suku Badui yang anti pemerintah.
Ketiga, di selatan, Mesir sedang berselisih dengan Ethiopia. Hal ini karena Bendungan Grand Renaissance yang berpotensi mengurangi debit air di Sungai Nil. Tentu ini mengancam ketahanan pangan bahkan ketahanan air di Mesir yang padat.
Sungai Nil adalah urat nadi Mesir, tanpa Nil, tidak ada Mesir! Meski wilayah selatan Mesir berbatasan dengan Sudan, dan Sudan dikuasai oleh orang-orang pro Old Forces, sejauh ini belum ada jaminan pasti bahwa Sudan akan membantu Mesir terkait Ethiopia. Dan sampai sekarang, Ethiopia masih bersikukuh dengan bendungan ini. Negosiasi kedua negara masih buntu.
Karena itulah, dengan kepentingan-kepentingan keamanan domestik mereka, UAE-Saudi-Mesir mendukung Jenderal Haftar dan kelompok anti-IM yang ada di Libya Timur untuk melakukan serangan offensif ke Libya bagian Barat. Tujuannya adalah untuk menaklukkan Tripoli, menggulingkan GNA dan Al Sarraj, serta menghancurkan IM. Ini sudah harga mati bagi mereka.
Sejak tahun 2017-akhir tahun 2019, kelompok Old Forces sebenarnya memperoleh kemenangan-kemenangan. Mereka menaklukkan wilayah Libya Timur, kota Binghazi (simbol revolusi Libya), Sirte (kampungnya Gaddafi), dan bahkan mengepung Tripoli (ibukota dan basis GNA di Libya) lalu Misrata (simbol oposisi Islamis dan basis GNA).
Sayangnya, New Forces tidak tinggal diam. Di akhir tahun 2019-2020, ada aktivitas militer yang tinggi dari New Forces di Libya. Walhasil, secara mengejutkan, GNA dan New Forces membalikkan keadaan. Kini, Haftar berhasil diusir dari Tripoli dan Misrata. Haftar juga kehilangan Bani Walid dan Tarhuna, basis kekuatannya di Libya Barat. GNA bahkan bergerak menuju ke Timur, nyaris menaklukkan Sirte hingga akhirnya terhenti sebentar untuk menghindari eskalasi konflik dengan Mesir. Selain itu, tujuannya untuk membuka kesempatan gencatan senjata dan negosiasi dengan Old Forces dan Belqasim Haftar.
Sayangnya, negosiasi kini buntu. New Forces menolak permintaan Old Forces. Walhasil, Mesir dan Old Forces tampaknya akan melakukan intervensi militer untuk membalikkan keadaan. Bagaimanakah hasilnya?