Kritik Mengenai Constructivism – English School dalam Identitas Negara

Oleh: Ganang Wira

MATERI :Constructivism – English School

Bahan Utama :

Alexander Wendt (1992) “Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of Power Politic.” International Organization. Vol. 46, No. 2
Barry Buzan (1993) “From International System to International Society: Structural Realism and Regime Theory Meet the English School.” International Organization. Vol. 47, No.3

Review ini akan berusaha untuk menjawab mengenai bagaimana identitas negara dan kepentingannya terkonstruksikan dalam politik internasional serta bagaimana relasi atau hubungan antara paradigma English School dengan Konstruktivisme. Sementara bahan utama yang digunakan oleh penulis untuk menyusun review ini diambil dari artikel “Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics“ oleh Alexander Wendt dan juga artikel karya Barry Buzan “From International System to International Society: Structural Realism and Regime Theory Meet the English School“.

Pada bagian pendahuluan, penulis akan mencoba menjelaskan ringkasan serta poin poin dasar mengenai paradigma constructivism dan English School menurut kedua bahan utama tersebut. Selanjutnya disambung dengan argumen penulis berkaitan dengan pertanyaan awal yang dipilih penulis dan juga pemahaman penulis mengenai bahan tersebut. Penulis juga menambahkan beberapa bagian dari sumber lain yang menguatkan argumen dan pemahaman penulis mengenai materi tersebut.

Pendahuluan
Alexander Wendt

Paradigma Konstruktivisme sebelumnya tidak disebutkan oleh Alexander Wendt (1992). Namun inti dari paradigma tersebut sudah tergambarkan dalam artikelnya yang berjudul “Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics”. Mengenai hal tersebut, Wendt berfokus kepada proses, dimana proses dari suatu unit / state mempengaruhi anarki dan self help system. Wendt dalam artikelnya berusaha menjembatani pandangan dari Realisme dan Liberalisme dengan Rasionalisme-Reflektivisme dengan pandangan konstruktivis yang berasal dari interaksi sosial, secara struktur maupun secara simbolis, sehingga sebuah institusi internasional seperti ASEAN atau PBB, dapat mengubah identitas / identity dan kepentingan / interest dari suatu negara.

Menurut Wendt, Aktor yaitu States mendapatkan identitasnya dengan cara ikut berpartisipasi kedalam pemahaman kolektif yang memiliki peranan masing masing dalam struktur sosial yang disetujui bersama oleh masyarakat. Suatu identitas yang dimiliki mempunyai pemahaman akan suatu ekspektasi serta peran spesifik yang stabil. Wendt juga mendefinisikan sebuah identitas sebagai sebuah basis atau landasan kepentingan, dimana menurutnya, negara sebagai aktor mendefinisikan kepentingannya dalam sebuah proses dimana proses itu tergantung dari situasi, yaitu interaksi antar negara yang menciptakan suatu institusi atau peraturan yang menjadikan sebuah identitas itu menjadi identitas kolektif..

Maka dari itu, menurut konstruktivisme, individu atau aktor seperti states tidak bisa dipisahkan dari konteks yang membentuk mereka sendiri dan pilihan yang dapat mereka ambil. Konsep kedaulatan maupun konsep teman atau lawan menjadi salah satu contoh konstruksi sosial yang mana terdiri atas pengakuan serta norma serta pemahaman bersama (shared understanding) yang dikonstruksikan secara sosial sedemikian rupa. Sebagai contoh, dalam konsep kedaulatan, negara itu memiliki identitasnya sendiri ketika diakui oleh negara negara lain bahwa negara tersebut itu ada, dan pengakuan itu terkonstruksikan dengan cara interaksi dari negara tersebut ke negara negara lain sehingga akhirnya negara itu pun diakui sebagai sebuah eksistensi.

Barry Buzan
Sementara dalam artikelnya Barry Buzan (1993), ia menjelaskan mengenai paradigma English School of Thought yang berfokus kepada sistem internasional (International System) yang diambil dari sisi Realism, masyarakat internasional (International Society) yang diambil dari sisi Rasionalism, dan masyarakat dunia (World Society) yang lebih kearah Revolusionisme. Ketiganya saling berkaitan dan menjadi divisi yang tergabung dalam paradigma English School tersebut, meski dalam artikelnya, Buzan lebih fokus membahas poin kedua yaitu mengenai International Society.

Dalam artikel tersebut, Buzan (1993) banyak mengutip dan mengkritik para pemikir seperti Bull, Watson, Wight, Waltz, dan beberapa pemikir lainnya mengenai hubungan antara International System (sistem internasional), International Society (masyarakat internasional) dan World Society (masyarakat dunia). Menurut Buzan (1993), untuk dapat memahami hubungan dari ketiga konsep tersebut, pertama harus memahami akan definisi dari International System, International Society, dan hubungan antar keduanya. Buzan (1993) menjabarkan bagaimana sebuah international society itu muncul dilihat dari dua sisi, secara gemeinschaft (pandangan dimana konsep masyarakat tersebut tumbuh, bukan dibuat sedemikian rupa) atau gesellschaft (pandangan dimana konsep masyarakat itu dapat dibuat berdasarkan tindakan kemauan/constructed socially.

Menurut Bull dan Watson dalam artikel Buzan (1993) tersebut, International Society atau Masyarakat Internasional terdiri atas “group of states”atau kumpulan dari negara negara yang membentuk sebuah sistem, dimana sistem tersebut bukan hanya terdiri dari perilaku negara yang menjadi faktor penting, tetapi juga terdiri atas kesamaan peraturan (common rules) dan institusi untuk melakukan hubungan antar negara tersebut, yang mana tujuan bersama (common interests) tersebut diakui dan dijalankan dalam peraturan tersebut. Maka dari itu, dapat dilihat bahwa suatu International Society dalam English School membahas tentang institusionalisasi dari identitas anter negara dan kepentingan bersama yang berdasarkan pada pembentukan dan penerapan norma dan aturan yang dilakukan secara bersama sama.

English School mengakui juga akan pentingnya non-state actors, yang disebut sebagai individu. Hal tersebut berkaitan dalam, World Society (Masyarakat Dunia) dimana non-state actor tersebut mulai memiliki identitas yang satu dan kepentingan yang mencakup semua manusia, bukan lagi negara.

Analisis
Dalam segi identitas, baik konstruktivisme dan english school sama sama menjelaskan mengenai identitas yang hadir akibat adanya konstruksi sosial. Menurut konstruktivis, norma dan shared understanding dari perilaku yang disahkan dari konstruksi sosial tersebut yang mana menciptakan suatu identitas dari aktor tersebut, dimana pada akhirnya, aksi rasional dari suatu aktor dapat menghasilkan kepentingan maksimal yang didapatkan oleh aktor tersebut secara individual. Sedangkan dari paradigma English School, keabsahan perilaku itu ditentukan oleh norma dan shared understanding didalam institusi yang diciptakan, sehingga pada akhirnya pada akhirnya dicapailah suatu kepentingan secara kolektif, bukan lagi secara individual.

Sebagai contoh, dalam pandangan konstruktivis, pembuatan institusi seperti PBB sebagai struktur sosial yang memiliki norma norma dan regulasi tertentu, akan menyebabkan interaksi antar aktor yaitu states agar states tersebut dapat memaksimalkan keuntungan yang mereka miliki, meski begitu, identitas yang dimiliki suatu negara seperti Amerika Serikat, dapat mempengaruhi kepentingan setiap negara, dimana mungkin negara tersebut mempunyai wewenang, peran dan kepentingan masing masing yang dapat dimaksimalkan. Dalam pemikiran konstruktivis, struktur sosial dan kekuatan yang ada didalam sebuah sistem internasional dikembangkan secara sosial oleh para aktor, yang mana para aktor dapat berinteraksi dengan satu sama lain sehingga kembali kepada keuntungan atau kepentingan apa yang didapat dari aktor sebagai individu.

Sementara dalam pandangan English School, pendirian suatu institusi seperti Asean sebagai struktur sosial yang juga memiliki norma norma dan regulasi yang sama, juga menyebabkan interaksi, namun akibat dari interaksi yang terus menerus antar negara didalam institusi tersebut, dapat menciptakan suatu identitas yang dimiliki oleh negara negara tersebut, sehingga pada akhirnya identitas tersebut pun adalah akibat dari struktur sosial yang diciptakan bertujuan untuk menghasilkan dan mewujudkan suatu common goal atau tujuan bersama.

Kesimpulan
Menurut penulis, dapat disimpulkan bahwa paradigma konstruktivisme dan English School sama sama membahas akan adanya konstruksi sosial didalam suatu hubungan internasional. Namum perbedaan nya terletak kepada pandangannya terhadap identitas maupun kepentingan yang tercipta dari institusi yang memiliki norma norma dan shared understanding dari negara negara / aktor aktor yang saling berinteraksi dan saling menyetujui akan adanya norma norma tersebut.

Dalam paradigma English School memahami bahwa norma, ide dan nilai tersebut sudah ada didalam masyarakat. Tetapi dalam pandangan konstruktivis, norma tersebut hadir akibat dari persetujuan oleh aktor aktor tersebut.
Identitas yang hadir dalam pandangan Konstruktivis menentukan kepentingan mereka dalam suatu situasi yang dapat diatur sedemikian rupa sehingga menguntungkan aktor secara individu, bukan kolektif. Lain halnya dengan paradigma English School yang lebih mengutamakan kepentingan kolektif dengan cara membuat institusi dan regulasi yang dapat mengatur interaksi antar negara/aktor, sehingga pada akhirnya, struktur sosial yang terdiri dari institusi tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi suatu identitas aktor.

Pada akhirnya, konstruktivisme dan English School sama sama membahas mengenai pentingnya interaksi atau hubungan diantara aktor, dan kaitannya dengan suatu kepentingan yang dipengaruhi oleh suatu konstruksi sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *