Editor: Ryan Muhammad Fahd
PENULIS: Muhammad Fatahillah
COPYRIGHT © IREC INDONESIA 2019
Ilmu Hubungan Internasional terus mengalami perkembangan seiring dengan gerak laju perubahan zaman. Sebab di setiap zaman pastilah muncul permasalahan-permasalahan baru dalam hubungan antar negara. Menurut Zofia Dach, permasalahan global yang mengemuka pada awal abad ke-20 berupa konflik sosial, kelebihan penduduk, rasisme, konflik agama, nasionalisme yang agresif, meningkatnya kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin, diskriminasi terhadap perempuan, tingginya tingkat buta huruf dan pengangguran struktural. Sedangkan permasalahan global saat ini merupakan isu-isu kontemporer yang telah muncul sejak 5 dekade terakhir dan menjadi periode perubahan tercepat dalam sejarah peradaban umat manusia karena perubahan tersebut didukung oleh kemajuan teknologi serta ekonomi (Dach, 2003). Isu-isu global kontemporer tersebut antara lain: kelebihan penduduk, polusi, penggundulan hutan, penurunan jumlah area lahan pertanian dan sumber daya alam, perubahan iklim, epidemi dan kelaparan, tingkat kejahatan yang tinggi, terorisme, narkoba dan lain-lain (Dach, 2003).
Zofia Dach lebih banyak mengemukakan permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan hidup seperti polusi, penggundulan hutan, penurunan jumlah area lahan pertanian dan sumber daya alam, serta perubahan iklim dalam penjelasannya tentang bentuk isu-isu global kontemporer. Hal itu menunjukkan pentingnya permasalahan lingkungan hidup sebagai salah satu isu global yang muncul di awal abad ke-21 dan kini dampaknya semakin dirasakan secara langsung oleh umat manusia. Asumsi tersebut selaras dengan pemikiran Umar Suryadi Bakry yang menyatakan bahwa permasalahan lingkungan hidup sebenarnya telah menjadi perhatian dunia sejak lama, namun permasalahan tersebut baru menjadi agenda sentral dalam politik internasional pada awal abad ke-21. Oleh karena itu, hampir seluruh ilmuwan di bidang ilmu hubungan internasional sepakat untuk menjadikan masalah ancaman terhadap lingkungan hidup (environmental threats) atau keamanan lingkungan hidup (environmental security) sebagai isu global yang mendesak untuk segera ditangani (Bakry, 2017).
Jika kita menggunakan pendekatan keamanan klasik, isu lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai “masalah keamanan” apabila terdapat upaya pengerahan kekuatan negara (militer) untuk menanganinya secara langsung. Akan tetapi, jika merujuk pada kajian masyarakat transnasional yang mendasarkan kajiannya pada fenomena “konektivitas global” akibat pengaruh globalisasi, permasalahan lingkungan hidup dapat menjadi ancaman bagi negara ataupun dunia karena urgensinya yang sudah tinggi dan ada kebijakan nyata yang dikeluarkan oleh badan-badan di tingkat internasional. Jadi, isu lingkungan hidup bukanlah hasil dari politisasi atau sekedar mengangkat permasalahan tersebut ke ranah publik, namun permasalahan lingkungan hidup memang dampaknya sudah dirasakan oleh seluruh umat manusia di dunia khususnya pada era modern sekarang ini. Contoh nyata dampak dari permasalahan lingkungan hidup yang mengancam keamanan (keselamatan) jiwa manusia adalah heat wave (gelombang panas) di Rusia dan banjir bandang di Pakistan pada tahun 2010. Kedua peristiwa tersebut merenggut banyak korban jiwa mulai dari anak-anak hingga lansia.
Ketika isu lingkungan hidup telah dikategorikan sebagai permasalahan keamanan global kontemporer, maka selanjutnya muncul pertanyaan tentang siapakah aktor internasional yang dapat berperan dalam menanganinya? Selama beberapa dekade yang lalu, ilmu hubungan internasional cenderung bersifat “State Centric” karena negara (State) dianggap sebagai aktor tunggal dalam politik internasional. Kemudian muncul aktor lain yang dikategorikan sebagai “aktor non-negara”, yakni korporasi dan organisasi non-pemerintah (Non-Government Organization/NGO). Aktor non-negara berperan dalam memantau perilaku pemerintah dan terkadang mereka juga secara aktif bermitra dengan pemerintah untuk menyediakan layanan yang sebelumnya menjadi domain eksklusif negara (Fukuyama, 2016). Pergeseran lokus pemerintahan ke aktor non-negara merupakan akibat dari kegagalan administrasi publik tradisional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (Fukuyama, 2016). Meskipun demikian, terdapat beberapa fungsi tertentu di dalam sebuah negara yang tidak dapat digantikan oleh aktor non-negara (Fukuyama, 2016).
Pendapat Francis Fukuyama tersebut sejalan dengan pendapat Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye yang mengkaji fenomena globalisasi di bidang ekonomi. Menurut kajian Keohane dan Nye, Nation-State masih menjadi aktor yang penting dalam hubungan internasional kontemporer sehingga upaya untuk mengkaji konsep Global Governance tidak dapat dilepaskan begitu saja darinya. Sementara itu, menurut Mohamed Noman Galal salah satu dari delapan ciri atau kecenderungan hubungan internasional di abad ke-21 adalah semakin meningkatnya peran organisasi non-pemerintah dalam bidang bantuan kemanusiaan, hak asasi manusia, pelucutan senjata dan lingkungan.
Meningkatnya peran organisasi non-pemerintah dipengaruhi oleh fenomena globalisasi yang kemudian menciptakan “hubungan transnasional”. Hubungan transnasional adalah pergerakan hal-hal material atau non-material yang melintasi batas-batas kedaulatan negara di mana salah satu aktornya bukan perwakilan pemerintah ataupun perwakilan organisasi antar negara (Keohane & Nye, 1971). Hubungan transnasional melibatkan berbagai aktor, yakni pemerintah, kelompok masyarakat sipil, organisasi non-pemerintah, kelompok epistemik, kelompok atau individu etnis, diapora dan imigran (Soetjipto, 2018). Berdasarkan uraian tersebut, maka tulisan ini hendak mengkaji bagaimana peran yang dapat dimainkan oleh aktor non-negara berupa organisasi non-pemerintah (Non-Government Organization/NGO) dalam isu lingkungan hidup global.
Menurut pendapat Barbara Gemmill-Herren & Abimbola Bamidele Izu, NGO secara umum dapat berperan dalam memperjuangkan sebuah isu atau permasalahan dengan mengambil beberapa bentuk perjuangan, sebagai berikut:
Pertama, Expert Advice and Analysis yakni NGO memfasilitasi negosiasi antara masyarakat sipil dengan pemerintah sehingga memberi akses kepada para politisi untuk mengakomodasi ide-ide atau aspirasi yang berada di luar jalur birokrasi normal.
Kedua, Intellectual Competition to Governments yakni NGO memberikan kemampuan analisis dan teknis terbaiknya untuk merespon berbagai permasalahan secara lebih cepat dibandingkan pejabat atau pegawai pemerintahan.
Ketiga, Mobilization of Public Opinion yakni NGO memengaruhi masyarakat melalui kampanye ataupun bentuk-bentuk propaganda lainnya.
Keempat, Representation of the Voiceless yakni NGO membantu menyuarakan kepentingan orang-orang yang tidak terwakili dengan baik dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Kelima, Service Provision yakni NGO memberikan keahlian teknisnya atas masalah-masalah tertentu sebagaimana yang dibutuhkan oleh pihak pemerintah, serta turut berpartisipasi langsung dalam kegiatan operasional.
Keenam, Monitoring and Assessment yakni NGO membantu memperkuat perjanjian internasional dengan memantau proses negosiasi dan kepatuhan pemerintah.
Ketujuh, Legitimization of Global-Scale Decision Making Mechanisms yakni NGO memperluas basis informasi untuk pengambilan keputusan, serta meningkatkan kualitas, keabsahan dan legitimasi pilihan kebijakan dari organisasi internasional.
Selanjutnya, Barbara Gemmill-Herren & Abimbola Bamidele Izu merumuskan bentuk peran NGO yang lebih teknis dalam memperjuangkan isu lingkungan hidup global. Pertama, NGO mengumpulkan, menyebarluaskan dan menganalisis informasi tentang kondisi lingkungan hidup global yang ada. Kedua, NGO memberi masukan untuk penetapan agenda dan proses pengembangan kebijakan publik oleh otoritas setempat. Ketiga, NGO aktif melaksanakan fungsi atau kegiatan-kegiatan operasional. Keempat, NGO melakukan penilaian terhadap kondisi lingkungan hidup global terkini dan memantau kepatuhan otoritas setempat terhadap perjanjian lingkungan internasional yang telah disepakatinya. Kelima, NGO mengadvokasi perjuangan global untuk memperoleh keadilan lingkungan.
Salah satu NGO yang berperan dalam isu lingkungan hidup global adalah Greenpeace. Greenpeace merupakan lembaga swadaya masyarakat yang berbentuk organisasi lingkungan global dengan kantor pusat di Amsterdam (Belanda) dan kantor cabang di lebih dari 40 negara. Greenpeace memiliki empat nilai dasar organisasi dalam setiap aksinya, yakni: Greenpeace tidak mempunyai lawan atau kawan yang permanen, independensi, mempromosikan solusi, aksi tanpa kekerasan dan bertanggung jawab secara pribadi. Sejak tahun 2008, Greenpeace secara aktif melakukan upaya untuk mengadvokasi isu perubahan iklim di tingkat global. Upaya tersebut, antara lain: melakukan riset dan publikasi, mengajukan rekomendasi kebijakan lingkungan untuk pemerintah negara-negara di dunia, memperjuangkan agenda lingkungan di konferensi iklim dunia, menggalang dana dan melakukan kampanye lingkungan, serta terjun langsung mengatasi kerusakan lingkungan bersama masyarakat.
Menurut Katharina Rietig, pengaruh NGO dalam pusat konferensi perubahan iklim dunia tergantung pada strategi mandiri mereka, kemampuan pribadi perwakilan mereka, seberapa dini keaktifan mereka di dalam siklus negosiasi dan keberhasilan mereka untuk memperoleh status sebagai orang dalam atau delegasi pemerintah. Selain itu, advokasi yang dilakukan oleh kelompok NGO juga dapat memengaruhi negosiasi iklim dari luar pusat konferensi dengan melakukan demonstrasi dan pengaruh mereka tergantung pada pesan yang jelas, liputan media yang baik, massa kritis yang mewakili mayoritas pemilih dan protes damai (Rietig, 2011).
Sementara itu, menurut Barbara Gemmill-Herren & Abimbola Bamidele Izu terdapat dua tipe cara pandangan negara atau pemerintah terhadap peran NGO dalam isu lingkungan hidup global. Pandangan yang pertama bersifat positif, yakni menilai bahwa peran serta NGO dapat membentuk kemauan politik untuk melakukan pembangunan yang mengintegrasikan kepentingan lingkungan dengan kepentingan sosial (Herren & Izu, 2002). Sedangkan pandangan yang negatif menilai peran NGO dengan sinis dan menyatakan bahwa kelemahan dari partisipasi NGO bisa jadi lebih besar dibandingkan kekuatannya (Herren & Izu, 2002). Selain itu, NGO juga dicurigai sebagai perwujudan dari kelompok kepentingan tertentu sehingga partisipasinya justru akan mendistorsi kebijakan negara atau pemerintah (Herren & Izu, 2002).
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka penulis menyimpulkan tiga hal. Pertama, permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan hidup seperti polusi, penggundulan hutan, perubahan iklim, penurunan jumlah area lahan pertanian dan sumber daya alam mengemuka di awal abad ke-21. Hal itu menunjukkan bahwa ilmu Hubungan Internasional terus mengalami perkembangan seiring dengan gerak laju perubahan zaman. Kedua, salah satu faktor yang memengaruhi perkembangan hubungan internasional adalah fenomena globalisasi. Globalisasi mendorong lahirnya pola baru dalam politik internasional, yakni hubungan transnasional. Hubungan transnasional adalah pergerakan hal-hal material atau non-material yang melintasi batas-batas kedaulatan negara di mana salah satu aktornya bukan perwakilan pemerintah ataupun perwakilan organisasi antar negara. Ketiga, salah satu aktor non-negara adalah organisasi non-pemerintah (Non-Government Organization/NGO). NGO berperan dalam mengadvokasi isu-isu yang berkaitan dengan permasalahan lingkungan hidup global. Meskipun demikian, terdapat beberapa fungsi tertentu di dalam sebuah negara yang tidak dapat digantikan perannya oleh NGO.
REFERENSI
Bakry, Umar S. (2017). Dasar-Dasar Hubungan Internasional. Depok: Kencana.
Dach, Zofia. (2003). Global Problems of the Contemporary World. Zeszyty Naukowe/Polskie Towarzystwo Ekonomiczne, Nr. 1. Retrieved from http://www.krakow.pte.pl/pliki/zn-pte-nr-1/01zofia-dach.pdf.
Donahue, John D. & Nye, Joseph S. 2002. Governance in a Globalizing World. Washington: Brookings Institution Press.
Fukuyama, F. 2016. Governance: What Do We Know, and How Do We Know It? Annual Review of Political Science Vol. 19 (1): 89-105.
Galal, Mohamed N. (2004). Cultural Misunderstanding and the Need to Promote Consensus in International Relations: An Arab Perspective dalam Yu Xintian (ed.), Cultural Factors in International Relations. Shanghai: Shanghai Institute of International Studies.
Herren, Barbara G. & Izu, Abimbola B. (2002). The Role of NGOs and Civil Society in Global Environmental Governance. Retrieved from https://environment.yale.edu/publication-series/documents/downloads/a-g/gemmill.pdf.
https://www.greenpeace.org/indonesia/tentang-kami/, diakses pada tanggal 06 Agustus 2019.
Rietig, Katharina. (2011). Public Pressure Versus Lobbying – How Do Environmental NGOs Matter Most in Climate Negotiations? Retrieved from https://pdfs.semanticscholar.org/f297/87ba76c3d593f36dea063f244d687718ea62.pdf?_ga=2.228649370.762309068.1551408126-1745799218.1551408126.
Soetjipto, Ani W. (ed). Transnasionalisme: Peran Aktor Non Negara dalam Hubungan Internasional. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018.