PENULIS: Maulana Reza Adhitama
COPYRIGHT © IREC INDONESIA 2019
Keamanan Kooperatif
Keamanan Kooperatif (Cooperative Security) bertujuan untuk mendorong perubahan damai yang berdasar pada kesamaan norma, aturan, prosedur, dan mengandalkan pertukaran informasi yang bersifat transparan dan komunikatif. Berakhirnya perang dunia kedua menandai perubahan signifikan pada politik internasional, termasuk di dalamnya aspek ekonomi, sosial, lingkungan, dan sumber daya. Postur keamanan di Amerika Selatan turut berubah meski tidak mengalami perubahan berarti. Ancaman keamanan regional masih tetap sama, seperti identitas dan lokasi spesifik dari aktor non-negara dan kelompok kriminal terorganisasi.
Berakhirnya perang dingin menyebabkan gejolak pada politik internasional, tak terkecuali kawasan Amerika Selatan. Transformasi politik domestik di negara-negara Amerika Selatan ditandai oleh peralihan rezim otoriter ke pemerintahan demokratis menjadi titik penting dalam mengubah persepsi keamanan di kawasan Amerika Selatan. Hal ini tergambar pada kenaikan perdagangan senjata dan respon militer (Diamint, 2004).
Guna bertahan dari ancaman luar dan memfasilitasi perselisihan antarnegara di kawasan pasca perang dingin, dibentuk suatu institusi untuk menjamin keamanan di sisi Barat dunia yang dinamakan Organization of American States (OAS). Pergeseran paradigma ke arah multilateral menjadikan OAS tidak lagi dilihat sebagai arena yang tepat untuk mendiskusikan permasalahan regional (Weiffen, 2013).
Menurut Diamint, pada tahun 1990an, konsep keamanan kooperatif (Cooperative Security) telah disinggung pada pidato-pidato yang disampaikan oleh menteri luar negeri dan menteri pertahanan di negara-negara Barat. Pada saat yang sama, angkatan bersenjata meningkatkan pertukaran teknologi melalui beragam aktivitas sebagai upaya mempertegas struktur dan doktrin organisasi. Misi bersama, operasi sub-regional dan kerjasama bilateral telah mengurangi terjadinya konfrontasi militer. Meskipun demikian, tiadanya doktrin pertahanan nasional dan internasional menjadikan koherensi dan kelayakan suatu kebijakan negara sebagai titik perdebatan. Maka dari itu, progres perkembangan kerja sama regional membutuhkan diskusi khusus yang membahas prinsip dari doktrin dan definisi misi militer (Weiffen, 2013).
Peran Brazil pada Keamanan Regional
Posisi geostrategis Amerika Selatan yang berada di sisi Barat turut mempengaruhi pola kebijakan luar negeri Brazil. Kawasan tersebut secara historis merupakan arena bagi pengayaan kekuatan Amerika Serikat dan penyebaran pengaruh ekonomi budaya negara adikuasa tersebut. Meski demikian, selama periode perang dunia II, Amerika Serikat tidak terlalu mementingkan wilayah Amerika Selatan. Sebagai negara dengan teritori terbesar, Brazil secara alamiah mewakili karakter negara besar di kawasan Amerika Selatan. Sepanjang 100 tahun, Brazil sukses menjaga citra sebagai “geopolitik yang memuaskan” di mana konteks regional berperan penting sebagai sumber kestabilan Brazil. Hal ini tidak terlepas dari upaya penyelesaian konflik yang lebih mengedepankan negosiasi diplomatis dibandingkan dengan keterlibatan pada sengketa militer.
Secara politis, Brasil dapat digolongkan sebagai kekuatan regional melihat dari kontribusi perekonomian yang mencapai lebih dari separuh daripada negara-negara kawasan lainnya. Ditambah lagi, pola perdagangan Brasil lebih beragam dibandingkan tetangganya. Tercatat hanya 25 persen dari ekspor Brasil yang ditujukan bagi wilayah Amerika Selatan dan selebihnya
Brazil melakukan pendekatan diplomasi alternatif untuk membentuk suatu arsitektur regional baru, yang berfokus pada Union of South American Nations (UNASUR) dan organisasi pertahanan South American Defense Council (CDS). Para elit Brazil melihat peluang untuk memainkan peran global, termasuk memburu satu tempat permanen di Dewan Keamanan PBB (UNSC). UNASUR menjadi bagian dari konsolidasi kepemimpinan di regional. Sementara inisiatif CDS dipahami sebagai usaha Brazil untuk menyediakan pilihan bagaimana menjalankan kepemimpinan di kawasan serta mengatur hubungannya dengan Amerika Serikat (Trinkunas, 2013).
Kompleksitas yang dihadapi oleh Brazil dalam mengatur tata laku negara-negara kawasan dalam kerangka kerja sama turut menambah beban dan tanggung jawab politik regional serta menambah pekerjaan untuk menjaga stabilitas politik di Amerika Selatan melalui upaya institusi demokrasi yang lebih kuat dan penanaman nilai yang tidak goyah bila terjadi gejolak politik regional.
Sejak 2003, Brazil telah melakukan intervensi krisis politik di Venezuela, Bolivia, Ekuador, dan Haiti. Brazil memimpin kelompok aliansi Venezuela, termasuk di dalamnya Cile, Kolombia, Meksiko, Portugal, dan Spanyol guna menjembatani kesalahpahaman antara pemerintah Chávez dan kelompok oposisi dalam mencari solusi politik yang tidak akan melukai prinsip demokrasi. Di Bolivia, Brazil menjadi mediator transisi Lozada-Mesa dan bertindak sebagai kekuatan penyeimbang pada periode kerusuhan 2005 yang pada akhirnya mendorong pergantian presiden dan kemudian dilaksanakan pemilihan umum.
Di antara komponen yang menjadi aspek kunci bagi Brazil dalam menginisiasi keamanan kooperatif di Amerika Selatan diantaranya adalah demokratisasi militer – sipil, prinsip multilateralisme, dan partisipasi di PBB.
Demokratisasi Militer – Sipil
Penggunaan diplomasi pertahanan sebagai instrumen mendukung demokratisasi hubungan sipil dengan militer menjadi komponen utama dalam upaya Barat mendorong paham demokrasi ke ranah global. Di saat bersamaan, kebijakan luar negeri dari demokrasi ala Barat tetap dibentuk atas dasar kepentingan strategis sehingga kerap kali menjadikan mereka harus berpihak pada rezim otoriter. Penggunaan diplomasi pertahanan untuk mendukung demokratisasi hubungan sipil dengan militer juga bergantung erat dengan sifat dasar rezim yang bertalian dengan konteks politis dan lingkungan strategis. Meski pemerintahan Barat memandang bahwa ikatan dapat membantu membentuk perilaku dan bahkan mendorong transisi demokratis, namun pada kenyataannya terdapat bukti yang menunjukkan bahwa rezim otoriter sangat solid dalam menghadapi pengaruh eksternal.
Pada tahun 1985, Brazil menjadi negara demokratis melalui pemilihan tidak langsung oleh kongres dan untuk pertama kali sejak 1964, memiliki presiden yang berasal dari sipil Dengan demokrasi, dasar politik multilateral secara drastis berubah. Brazil kini lebih aktif di fora global dan multilateral serta melanjutkan perubahan politik luar negeri lebih mengarah ke legitimasi mainstream internasional, terutama pada ranah hak asasi, pelucutan senjata, dan lingkungan. Kemudian, Brazil juga lebih berpartisipasi aktif pada misi perdamaian dan terlibat secara serius pada isu-isu keamanan internasional (Fonseca, 2011).
Sikap Brazil pada isu keamanan dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, menyangkut pandangan negara dalam upaya menjaga penuh kedaulatan sebagai hak prerogratif yang terefleksikan pada beragam kebijakan pertahanan, diantaranya melindungi integritas teritorial dan kepentingan nasional (De Lima, Soares dan Mônica, 2006). Kedua, Brazil mengarahkan komitmen kepada rezim non-proliferasi dan memahami pentingnya institusi multilateral untuk mendukung keamanan regional dan global. Seperti yang disampaikan sebelumnya, Brazil merupakan salah satu di antara negara yang grafiknya sedang menanjak yang tergolong vokal dalam menyuarakan reformasi institusional pada sistem di PBB, khususnya pada struktur dan prosedur dari Dewan Keamanan PBB (De Lima, Soares dan Mônica, 2006).
Konsolidasi demokrasi beberapa negara di Amerika Selatan menghasilkan pemimpin terpilih yang tidak gentar akan kudeta dan tidak terlalu tertarik dalam mencurahkan anggaran pertahanan sebagai cara untuk mengontrol angkatan bersenjata. Stabilitas ekonomi di Brazil ditopang oleh peningkatan stabil dari anggaran pertahanan dan kini Brazil tercatat memiliki separuh dari pengeluaran pertahanan di Amerika Selatan Trinkunas, 2013).
Peningkatan Brazil sebagai kekuatan baru ekonomi global membuka kesempatan bagi Brazil untuk menata ulang tatanan keamanan regional. Brazil dan sebagian negara kunci di Amerika Selatan yang tidak terlalu terdampak oleh krisis keuangan global tahun 2008 dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya.
Prinsip Multilateral
Fokus multilateral menjadi sikap konsisten dalam diplomasi Brazil bahkan jauh sebelum pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (LBB), pendahulu PBB. Tepatnya pada pertemuan negara-negara belahan bumi barat (Western Hemisphere) pada 1889 di Washington D.C., Amerika Serikat. Pada pertemuan yang dipimpin oleh Presiden Amerika Serikat saat itu, Grover Cleveland, Brazil menyetujui anggapan bahwa multilateralisme sebagai alat yang berguna untuk memenuhi kepentingan nasionalnya. Meskipun, mereka juga menolak usulan Amerika Serikat untuk mendirikan zona perdagangan bebas di Amerika Selatan.
Partisipasi di PBB
Komitmen Brazil untuk mendorong terciptanya keamanan dan perdamaian terimplementasi pada langkah partisipasi aktif di misi perdamaian (peacekeeping) dan juga intervensi sebagai anggota non-permanen Dewan Keamanan PBB : 1988-1989, 1993-1994, 1998-1999, 2004-2005, and 2010-2011. Bahkan jauh sebelum demokratisasi medio 1990an, Brazil telah memiliki tradisi keikutsertaan pada misi perdamaian yang mulai pada 1956 di Suez. Terkini, kontribusi paling signifikan adalah di Angola pada misi UN Angola Verification Mission, East Timor, Haiti dan Lebanon.
Kesimpulan
Posisi alami Brazil sebagai negara postur geografis yang luas di Amerika Selatan membuat citra ‘negara kuat’ melekat pada dirinya. Brazil dipandang sebagai aktor yang berperan penting dalam terlaksananya kerja sama intraregional yang menciptakan keamanan di wilayah Amerika Selatan. Keaktifan Brazil di fora internasional, melalui partisipasinya di misi perdamaian PBB sebagai wujud konsistensinya dalam mendorong terciptanya perdamaian. Peran itu kemudian menjadi modal untuk menjaga keamanan regional. Perubahan rezim pasca perang dingin yang terjadi pada hampir seluruh pemerintahan di negara-negara di Amerika Selatan turut mendorong perubahan arsitektur keamanan regional. Melalui inisiatif UNASUR dan CDS, Brazil akhirnya dapat menjamin keamanan kawasan dari potensi konflik perpecahan. Hal ini diperkuat oleh profil ekonomi yang relatif kokoh sehingga Brazil mampu mampu menjaga wilayah dari ancaman keamanan serta menghadapi tantangan ekonomi dan finansial.
BIBLIOGRAFI
Diamint, Rut. (2004).Security Challenges in Latin America. Bulletin of Latin American Research, Vol. 23, No. 1, pp. 43-62, 2004
Cottey, Andrew and Forster, Anthony(2004) ‘Chapter 1: Strategic Engagement: Defence Diplomacy as a Means of Conflict Prevention’, Adelphi Papers, 44: 365, 15 — 30 http://dx.doi.org/10.1080/714027947
Trinkunas, Harold.(2013). Reordering Regional Security in Latin America. Journal of International Affairs, Spring/Summer 2013, Vol. 66, No. 2. Pp. 83 – 99 https://www.jstor.org/stable/24388287
De Lima, Maria Regina Soares dan Mônica Hirst. (2006). Brazil as an Intermediate State and Regional Power: Action, Choice and Responsibilities. International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), Vol. 82, No. 1, Perspectives on Emerging Would-Be Great Powers (Jan., 2006), pp. 21-40 https://www.jstor.org/stable/3569128
Fonseca Jr.,Gelson.(2011). Notes on the Evolution of Brazilian Multilateral Diplomacy., Global Governance, Vol. 17, No. 3, Emerging Powers and Multilateralism in the Twenty-First Century (July- Sept. 2011), pp. 375-397 https://www.jstor.org/stable/23033753
Weiffen, Brigitte et. al. (2013). Overlapping regional security institutions in South America: The Case of OAS and UNASUR. International Area Studies Review 16(4) 370–389 sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav DOI: 10.1177/2233865913503466