Keamanan merupakan salah satu isu utama yang dikaji dalam studi ilmu hubungan internasional. Mengkaji keamanan sama dengan membicarakan kebutuhan paling mendasar bagi manusia sebab rasa aman merupakan salah satu syarat kondisi kehidupan yang ideal.[1] Namun hingga saat ini belum ada kesepakatan di antara para pakar studi keamanan mengenai definisi konsep keamanan.[2] Para pakar studi keamanan justru terbelah menjadi dua aliran besar sejak berakhirnya Perang Dingin.[3] Aliran pertama menghendaki perluasan makna keamanan dengan tidak mendefinisikannya sebagai masalah militer semata sebab dewasa ini muncul banyak ancaman dari beragam dimensi yang sifatnya non-militer seperti ekonomi, lingkungan, HAM, dan lain sebagainya.[4] Sedangkan aliran kedua mencerminkan pandangan konvensional yang menghendaki studi keamanan tetap fokus pada masalah militer agar kajiannya tidak menjadi kabur.[5]
Definisi konsep keamanan berpijak pada dua research questions, yakni: siapa atau apa yang harus diamankan dan bagaimana cara mengamankannya. Pada tulisan ini penulis mereview pemikiran Hidemi Suganami tentang penyebab-penyebab perang (the Causes of War). Perang dikategorikan sebagai isu keamanan tradisional dalam studi ilmu hubungan internasional. Keamanan tradisional diartikan sebagai suatu kondisi yang terbebas dari ancaman militer atau kemampuan suatu negara untuk melindungi negara-bangsanya dari serangan militer yang berasal dari lingkungan eksternalnya.[6] Berdasarkan definisi tersebut, serangan militer dipandang sebagai satu-satunya ancaman bagi keberlangsungan hidup suatu negara-bangsa. Maka, isu keamanan tradisional menempatkan negara-bangsa sebagai objek yang harus diamankan dari serangan militer negara lain.
Perang merupakan fenomena hubungan internasional yang mengakibatkan kehancuran negara dari segi fisik (infrastruktur), ekonomi, populasi, militer dan lain sebagainya. Oleh karena itu, banyak sarjana dari berbagai disiplin ilmu yang berusaha untuk menemukan sebab-sebab (faktor pendorong) terjadinya perang agar perang dapat dicegah atau dihindari.[7] Salah satu filsuf terkemuka dari era Yunani kuno yang menganalisa perang adalah Thucydides (460-395 SM). Thucydides menganalisa peristiwa Perang Peloponnesia antara Athena dan Sparta yang terjadi pada abad ke-5 SM. Menurut Thucydides, penyebab utama terjadinya perang di sepanjang sejarah umat manusia adalah sifat dasar manusia yang selalu mengejar kekuasaan (struggle for power) sehingga cenderung bersikap konfliktual.[8]
Pemikiran Thucydides tentang faktor utama yang menyebabkan terjadinya perang berbeda dengan pemikiran Hidemi Suganami. Menurut Hidemi Suganami, perang terjadi bukan hanya karena sifat dasar manusia yang egois dan agresif, akan tetapi perang terjadi karena manusia bersosialisasi untuk membentuk komunitas sosial yang bersifat universal.[9] Selanjutnya Hidemi Suganami mengungkapkan 4 Contributory Causes of War, yakni pertama, perang terjadi karena terdapat kesempatan dan kebetulan yang mengarahkan serangkaian kejadian atau insiden menuju peperangan.[10] Kedua, perang terjadi karena terdapat aksi yang kondusif, yakni perseteruan antara pihak A dan pihak B.[11] Ketiga, perang terjadi karena terdapat mekanisme kausal yang berpotensi untuk bekerja sebagai tahap-tahap menuju peperangan.[12] Keempat, perang terjadi karena keabsenan negara yang disebabkan oleh ketidakpekaan (insensitive acts), kesembronoan (reckless acts) dan kelalaian (contributory negligence).[13]
Perang dalam pandangan Hidemi Suganami bukanlah suatu fenomena hubungan internasional yang terjadi secara natural dan otomatis. Akan tetapi terdapat pra-kondisi tertentu yang mendorong terjadinya perang. Pandangan tersebut sejalan dengan pemikiran Joseph S. Nye yang membagi faktor pendorong terjadinya perang ke dalam tiga level analisa, yakni individu, negara dan sistem internasional. Joseph S. Nye menjadikan peristiwa Perang Dunia II sebagai studi kasus dalam analisanya. Pada level individu, Perang Dunia II terjadi karena terdapat sosok Hitler yang tampil sebagai pemimpin Jerman dengan karakter ambisius, fasis dan rasis.[14] Kemudian pada level negara terdapat perubahan-perubahan di dalam negeri Jerman yang mendorong terjadinya Perang Dunia II seperti kegagalan pemerintahan demokratis dalam menangani krisis ekonomi sehingga digantikan oleh pemerintahan fasis partai Nazi.[15] Sedangkan pada level sistem internasional, Perang Dunia II terjadi karena beberapa hal yakni: perjanjian Versailles tidak memuaskan bagi Jerman sehingga membangkitkan semangat nasionalisme-fasis, Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak memerankan diri sebagai penyeimbang kekuatan Jerman, dan berkembang ideologi-ideologi besar yang saling membenci seperti fasisme versus komunisme.[16]
Hidemi Suganami menjelaskan faktor-faktor pendorong terjadinya perang dengan analisis kausal atau proses sebab-akibat. Sedangkan Joseph S. Nye menjelaskan faktor-faktor pendorong terjadinya perang dengan analisa di 3 level (individu, negara dan sistem internasional) yang jauh lebih spesifik dibandingkan penjelasan Hidemi Suganami. Akan tetapi, Joseph S. Nye tidak memberikan definisi yang jelas tentang apa itu perang. Sedangkan menurut Hidemi Suganami, perang adalah konflik bersenjata yang terjadi di antara negara-negara berdaulat (sovereign states).[17] Perang merupakan proses sosialisasi untuk membentuk komunitas manusia yang universal.[18] Oleh karena itu, perang selalu diperjuangkan di antara kelompok sosial yang terorganisir sehingga perkelahian antar individu bukanlah apa yang biasanya kita maksud dengan perang.[19]
Di sisi lain, terdapat Levy dan Thompson yang mengajukan 5 level analisa untuk mengidentifikasi faktor-faktor pendorong terjadinya perang. Level analisa yang pertama adalah struktur atau sistem internasional. Pada level tersebut, perang terjadi karena didorong oleh adanya distribusi kapabilitas untuk menjaga keseimbangan lama atau menciptakan keseimbangan baru sebagaimana yang dijelaskan dalam teori Balance of Power dan teori Hegemonic Transition.[20] Level analisa yang kedua adalah interaksi antar negara. Interaksi antar negara yang mengandung persaingan, kegagalan negosiasi dan ketergantungan ekonomi dapat menjadi tahapan-tahapan menuju perang.[21] Level analisa yang ketiga adalah negara, yakni negara berperang karena terdapat “mispersepsi” saat melihat tindakan negara lain.[22] Level analisa yang keempat adalah para pengambil kebijakan. Para pengambil kebijakan yang gemar berperang akan mendorong negaranya untuk memerangi negara lain.[23] Level analisa yang kelima adalah individu. Pada level individu terdapat mitos-mitos yang sengaja dibangun untuk mendasari sistem kepercayaan seseorang mengenai peperangan.[24]
Levy dan Thompson menyajikan analisa tentang penyebab perang yang jauh lebih luas dibandingkan analisis kausal Hidemi Suganami dan tiga level analisa Joseph S. Nye. Namun keempat tokoh tersebut sama-sama memposisikan negara (nation state) sebagai aktor dalam peperangan. Hal itu karena negara dipandang sebagai satu-satunya entitas yang memiliki kedaulatan (sovereignty) dan bentuknya sangat terorganisir. Lantas bagaimana dengan fenomena perang melawan terorisme (War on Terrorism) dan perang siber (Cyber War) yang terjadi dewasa ini? Apakah kedua fenomena tersebut dapat dikategorikan sebagai peperangan?
Jika merujuk pada konsep perang menurut Hidemi Suganami, kelompok teroris dapat dikategorikan sebagai kelompok sosial yang terorganisir. Akan tetapi, kelompok teroris tidak memiliki kedaulatan sebagaimana yang dimiliki oleh negara. Maka, perang melawan terorisme bukanlah perang dalam pengertian yang umum kita sepakati sebagai “perang antar negara berdaulat”. Sedangkan Robert Ayson menyatakan bahwa perang di abad ke 21 mungkin terlihat agak berbeda dengan perang di abad-abad sebelumnya, akan tetapi sifat dasarnya tetap utuh.[25] Pernyataan tersebut merupakan bentuk sanggahan Robert Ayson atas klaim yang menyatakan bahwa perang dalam hubungan internasional kontemporer telah berubah.
Selanjutnya Robert Ayson menawarkan 5 barometer perang yakni penggunaan kekerasan, pengorganisasian kekerasan, motivasi politik, hasil yang didapatkan (outcomes) dan skala perang.[26] Kelima barometer tersebut merupakan tolak ukur untuk menilai apakah suatu fenomena konflik dapat dinyatakan sebagai perang atau tidak. Jika merujuk pada definisi Robert Ayson tentang perang di abad ke-21, fenomena perang siber (Cyber War) dapat dikatakan sebagai perang dengan cara atau metode baru. Akan tetapi jika dianalisa dengan menggunakan 5 barometer perang Robert Ayson, perang siber (Cyber War) hanya memenuhi beberapa kriteria saja.
Berdasarkan seluruh penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kajian tentang perang dan keamanan merupakan ranah kajian yang paling dinamis dalam hubungan internasional. Sebab sampai dengan hari ini kita masih menemui berita-berita tentang perang dan keamanan yang menjadi headline di media massa baik cetak maupun online. Berita-berita tersebut menunjukkan adanya perubahan pada cara atau metode perang yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Beberapa orang menilai bahwa di zaman sekarang ini, nuklir kalah dengan informasi dan informasi kalah dengan cyber. Oleh karena itu kemudian muncul fenomena perang siber (Cyber War) yang masih diperdebatkan konsepsinya dalam ilmu hubungan internasional. Di samping itu juga terdapat fenomena terorisme yang mana negara menyebut respon terhadap fenomena tersebut sebagai “perang” sedangkan kelompok teroris menyebut tindakannya sebagai “teror” (bukan perang). Namun pada intinya perang itu tidak berubah sifat dasarnya, hanya cara atau metodenya saja yang berubah.
DAFTAR REFERENSI
Buzan, B., Weaver, O. & Wilde, J. D. (1998). Security: A New Framework for Analysis. Colorado: Lynne Rienner Publisher Inc.
Carlsnaes, W., Risse, T. & Simmons, B.A. (2004). Handbook of International Relations London: Sage Publications.
Devetak, R., Burke, A. & George, J. (2012). An Introduction to International Relations. Cambridge: CUP.
Gilchrist, Mark. (2016, November 30). Why Thucydides Still Matters. Diakses dari https://thestrategybridge.org/the-bridge/2016/11/30/why-thucydides-still-matters.
Levy, Jack S. & Thompson, William R. (2010). Causes of War. United Kingdom: Wiley-Blackwell.
Muhammad, Ali & Maksum, Ali. (2016). Keamanan Asia Tenggara: Antara Konflik, Kerja Sama dan Pengaruh Negara-Negara Besar. Yogyakarta: LP3M UMY.
Nye, Joseph S. (1997). Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory, Second Edition. New York: Longman, Inc.
Williams, Paul D. (2008). Security Studies, An Introduction. New York: Routledge.
Wiswayana, Wishnu M. (2014). Keamanan Lingkungan Hidup: Indonesia dalam Kajian Strategi Pertahanan. Malang: Universitas Brawijaya Press.
[1] Wishnu Mahendra Wiswayana, Keamanan Lingkungan Hidup: Indonesia dalam Kajian Strategi Pertahanan (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2014), hlm. 5.
[2] Ali Muhammad dan Ali Maksum, Keamanan Asia Tenggara: Antara Konflik, Kerja Sama, dan Pengaruh Negara-Negara Besar (Yogyakarta: LP3M UMY, 2016), hlm. 4.
[3] Barry Buzan, Ole Weaver dan Jaap de Wilde, Security: A New Framework for Analysis (Colorado: Lynne Rienner Publisher Inc., 1998), hlm. 2.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Paul D. Williams, “Security Studies, An Introduction” dalam Paul D. Williams (Eds), Security Studies, An Introduction (New York: Routledge, 2008) hlm. 28.
[7] Walter Carlsnaes, Thomas Risse dan Beth A. Simmons, Handbook of International Relations (London: Sage Publications, 2004), hlm. 721.
[8] Mark Gilchrist, “Why Thucydides Still Matters”, diakses dari https://thestrategybridge.org/the-bridge/2016/11/30/why-thucydides-still-matters, pada tanggal 20 November 2018 pukul 08.00 WIB.
[9] Hidemi Suganami, “The Causes of War” dalam Richard Devetak, Anthony Burke dan Jim George (Eds), An Introduction to International Relations (Cambridge: CUP, 2012), hlm. 193.
[10] Ibid., hlm. 195.
[11] Ibid., hlm. 195.
[12] Ibid., hlm. 196.
[13] Ibid., hlm. 197.
[14] Joseph S. Nye, Jr., Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory, Second Edition (New York: Longman, Inc., 1997), hlm. 86.
[15] Ibid., hlm. 88.
[16] Ibid.
[17] Hidemi Suganami, Op.Cit., hlm. 190.
[18] Hidemi Suganami, Op.Cit., hlm. 193.
[19] Hidemi Suganami, Op.Cit., hlm. 192.
[20] Jack S. levy dan William R. Thompson, Causes of War (United Kingdom: Wiley-Blackwell, 2010), hlm. 38-48.
[21] Ibid., hlm. 56-70.
[22] Ibid., hlm. 117-157.
[23] Ibid., hlm. 130-133.
[24] Ibid., hlm. 139-140.
[25] Robert Ayson,”the Changing Character of Warfare”, dalam Richard Devetak, Anthony Burke dan Jim George (Eds), An Introduction to Interational Relations (Cambridge: CUP, 2012), hlm. 200.
[26] Ibid., hlm. 204-214.