Mengapa Peran Perempuan dan Gender Penting dalam Memahami Hubungan Internasional

oleh: Bambang Dwi Waluyo

Paradigma Feminisme mengomentari banyak hal mengenai pemikiran-pemikiran terdahulu tentang hubungan internasional yang dianggap terlalu mengarah hanya pada konsepsi maskulin/patriarki. Sebagai contoh, negara dianggap secara alami memiliki sifat yang condong mengarah kepada patriarki dengan sifat sifatnya yang maskulin. Feminisme menolak keadaan tersebut karena bagi para pemikir feminis, semua itu bukanlah sesuatu yang given, melainkan dikonstruksikan dari state holder pada masa itu.[1] Karenanya, dapat kita simpulkan bahwa pada awal sejarah politik internasional,  laki-laki yang memiliki wewenang lebih untuk menentukan keputusan , sehingga dominasi laki-laki dalam proses pengambilan kebjakan dalam negara pada tingkat individu sangat menonjol. Oleh karena itu, menurut pemikiran feminisme, sejarah pembentukan dan identitas negara merupakan salah satu bentuk penindasan gender. Paling tidak sejak Aristoteles, kodifikasi laki-laki sebagai “tuan” dan perempuan sebagai “subjek” telah mengeksploitasi perempuan, kelompok masyarakat lain, dan alam secara umum. ‘Dalam jangkauan kerjanya yang kritis pada negara sebagai unit analisis, pemikiran feminisme dalam hubungan internasional secara langsung maupun tidak langsung, menuduh arus utama Hubungan Internasional dari sebuah eksploitasi depolitisasi dengan kekuatan politik negara sebagai aktor yang cenderung maskulin sehingga mengabaikan dinamika gender relasional.[2] Hal tersebut menjelaskan bahwa kekuatan laki-laki dapat dideskripsikan, tidak sebagai sesuatu yang pada dasarnya telah ada serta bahwa negara sebagai bentuk terpenting dari kekuatan laki-laki secara historis dan kolektif dalam kehidupan sosial dalam istilah-istilah gender dinamis.

Kelompok feminis di HI berpendapat bahwa realisme, yang didominasi oleh para elit, kelompok ras kulit putih, para praktisi yang didominasi oleh laki-laki, adalah wacana patriarkal yang membuat perempuan tidak terlihat dari politik HI yang tinggi bahkan ketika itu tergantung pada penaklukan perempuan sebagai “figur terdomestikasi yang kepekaan feminin keduanya bertentangan dan tidak penting terhadap kenyataan kasar dunia publik manusia dan negara”.[3] Kaum feminis di HI menjelaskan pengecualian perempuan dari pengambilan keputusan kebijakan luar negeri dengan menunjuk pada “sejauh mana politik internasional adalah suatu bidang kegiatan yang benar-benar maskulin sehingga suara perempuan dianggap tidak otentik”.[4] Pengecualian tradisional kaum perempuan dari militer dan terus kurangnya akses pada kekuasaan politik menghadapkan perempuan dengan situasi terintimidasi. Misalnya, pentingnya kandidat militer sebagai kualifikasi untuk kantor pemerintah dalam kampanye politik Amerika Serikat menempatkan perempuan pada posisi yang kurang menguntungkan dalam memperoleh status elit dari kantor nasional, dengan demikian kemampuan perempuan untuk mempengaruhi kebijakan pertahanan dan keamanan semakin berkurang.[5] Sehingga dalam hal ini realisme mengabaikan individu dan ketidaksetaraan gender dalam praktik dan teorinya.

Pada urusan domestik negara, feminisme juga mempermasalahkan militarized citizenship dalam laporan realis dan menunjukkan bagaimana studi-studi keamanan nasional realis yang obyektif berusaha menjelaskan sebab-sebab perang melalui suatu wacana yang mengistimewakan pandangan berdasarkan hegemoni maskulinitas.[6] Sementara itu perempuan tidak pernah diceritakan keberadaannya dalam konteks perang. Kontek berikutnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah tanpa perempuan perang dapat berjalan. Realis terlalu mengangkat nilai bahwa laki-laki di takdirkan untuk berperang, berperang itu adalah sesuatu yang maskulin dan maskulinitas menuntut kemauan untuk berkorban dan kesedian untung mati pada medanperang. Oleh karena itu laki-laki di latih untuk berperang sebagai seorang petarung dan perempuan sebagai yang lain diluar itu. Disisi lain, perempuan menjadi reward untuk para tentara perang yang menang, dimana pemerkosaan menjadi senjata perang dalam sejarah-sejarah perang seperti yang terjadi pada invasi Jerman kepada Belgium pada perang dunia pertama dan Jerman, Amerika, Rusia dan Jepang pada perang dunia kedua.[7] Dalam perang, maskulinitas dirayakan dengan kekerasan seksual yang dilakukan terhadap perempuan dari lawan yang kalah. Hal tersebut dilakukan untuk menjatuhkan mental musuh karena sebagai militer yang maskulin mereka gagal dalam melindungi perempuannya.

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perilaku negara dalam realis sebenarnya bergantung pada asumsi gender. Hal tersebut tergambar dalam pemikiran realis yang menerima stereotype bahwa laki-laki itu agresif dan perempuan itu peaceful. Sedangkan negara dalam realis selalu berusaha mengejar kekuasaan dan mencapai kepentingannya dan hal tersebutlah yang menciptakan anarki dalam sistem internasional. Nilai-nilai mengenai asumsi gender negara inilah yang kemudian dikeritiki oleh feminisme, mengenai objek negara yang dinilai selalu maskulin dan selalu mengutamakan kekerasan dalam mengejar kepentingannya. Padahal dalam beberapa kasus, tidak hanya laki-laki yang bisa memiliki sifat maskulin perempuan pun juga bisa, selain itu tidak semua perempuan itu peaceful tetapi laki-laki pun bisa. Sama seperti perumpaan tersebut maka tidak semua negara itu maskulin atupun feminim, namun bisa saja sebuah negara memiliki kedua sifat dari gender tersebut. Tetapi dalam kenyataannya realis menepis semua dari hal tersebut dan menggeneralisasi negara sebagai maskulin.

Keritik feminis terhadap liberal mengenai individulisme sebagai ambiguitas, dimana liberal membagi kebebasan kedalam dua aspek yaitu ranah publik dan ranah privat.[8] Pada ranah publik semua individu dinilai sama dalam menjalankan politik dan keberadaannya sebagai individu dan di hargai. Namun dalam ranah privat seperti misalnya di dalam keluarga, jaminan perempuan sebagai individu yang bebas belum bisa terjamin karena dianggap sebagai masalah yang bukan untuk umum dan harus diselesaikan dalam lingkup yang sempit saja yaitu dalam keluarga itu juga. Feminis mengkritik batasan individu mana yang dianggap dalam liberal, apakah setiap individu yang memiliki power, ataukah individu yang memiliki kelebihan lain yang dapat dikenali oleh masyarakat. Feminis juga menilai individualitas yang di tawarkan oleh liberal terlalu individualistik.[9] Bagaimana liberal memandang sifat yang individualis dalam masyarakat sebagai kesetaraan, padahal sifat individualis adalah bentuk egois dari individu yang betentangan dengan pemikiran dasarnya yaitu kerjasama.

Selain itu banyak permasalahan-permasalahan liberal berfokus tentang ekonomi, kritik feminisme mengenai permasalahan tersebut adalah tentang ekonomi produktif dan reproduksi ekonomi. Sebagian manusia disosialisasikan untuk menjadi pekerja produktif (pria) dan sebagian lainnya sebagai pekerja reproduktif (wanita). Dalam hal ini pria selalu dekat dengan pekerjaan dengan jam kerja yang pasti dan upah yang sesuai dengan pekerjaaannya, sedangkan perempuan selalu di identikan dengan pekerjaan buruh dengan kemampuan yang seadanya, gajih yang lebih murah dan tanpa jaminan keamanan seperti di pabrik dan pertanian.[10] Sehingga jika disimpulkan, pekerjaan perempuan hanya sebatas buruh kasar yang tidak memerlukan keahlian khusus dan bergajih murah. Dalam hal ini perempuan hanya mampu menguasai perekonomian pada bagian-bagian yang tidak diminati oleh pria. Liberalisme telah mencoba melakukan peningkatan konsumsi di antara wanita yang memungkinkan semacam pemberdayaan melalui pembelian pakaian, kosmetik, produk untuk meningkatkan standar hidup lainnya, tetapi itu semua tidak memungkinkan pemberdayaan dalam konteks sosial yang lebih besar.[11] Dalam keritiknya, feminism menyatakan bahwa hal tersebut malah menjatuhkan nilai perempuan karena mereka rela menjalankan prilaku konsumtip tersebut demi terlihat cantik dan menawan hanya untuk dilihat sebagai perempuan yang telah mapan dan berdaya. Sehingga hal tersebut malah menambah parah kekerasan gender dalam perilaku masyarakat.

Bagi feminis paradigma sosialis merupakan sistem yang ekploitatif, Feminis tidak percaya bahwa kelas adalah musuh terburuk atau satu-satunya bagi perempuan. Feminisime mengkritiki bagaimanan power itu di distribusikan dalam sistem hirarki dalam masyarakat sosial. Feminis berpendapat bahwa sosialis adalah sistem yang patriarki, dimana patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.[12] Seperti halnya Patriarki, kapitalis sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti di pegang oleh kaum borjuis yang kapitalis.

Dalam paradigma sosialis, perempuan tidak mendapat kesetaraan yang pada akhirnya pekerjaan perempuan tidak ada akhirnya. Jika perempuan melakukan pekerjaan di luar keluarganya dan kemudian di dalam keluarga perempuan harus kembali bekerja dalam mengurus keluarga dan rumah tangga. Hal tersebut menjadi dasar dari sistem patriarki dalam sosialis. Fokus utamanya adalah untuk memahami subordinasi perempuan dengan cara yang koheren dan sistematis yang menggabungkan kelas dan jenis kelamin, serta aspek lain seperti ras, etnis atau orientasi seksual. Kelas tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari kategori sosial lainnya.

Feminisme berpendapat bahwa Hubungan Internasional sebagai bidang studi terlalu berfokus pada kekuasaan dan perspektif malestream, sehingga gagal untuk mengambil poin inti tentang gender, akibatnya kekuatan yang sebagian besar masih berada di permukaan asumsi, tidak sepenuhnya di implementasikan dalam realitas yang didominasi laki-laki. Feminisme membawa hubungan internasional ke pandangan realitas gender yang lebih dalam dari politik dan ekonomi internasional dan mengeksplorasi kompleks ketidaksetaraan yang beroperasi di dalam dan lintas gender. Hal ini menyangkut hubungan antara kekuasaan, identitas, lembaga dan wacana (dalam ranah teoretis dan praktis).

Sehingga peran perempuan dan gender sangatlah penting dalam memahami hubungan internasional untuk memahami hubungan antar kekuaasaan dan budaya hirarki yang masih melekat dalam paradigma-paradigma yang ada dalam hubungan internasional. Pandangan feminisme mengenai perempuan dan gender membatu kita dalam melihat politik internasional dan sistem internasional dari sudut yang baru, sehingga mampu menjelaskan mengapa hubungan internasional klasik pada awalnya terlalu bertitik berat pada power dan kekuasaa, karena pada awalnya memang sistem tersebut dibuat oleh laki-laki dan berorientasi pada sifat maskulin. Hingga pada akhirnya feminisme menwarkan bahwa hubungan internasional tidak harus selalu seperti itu, dengan melibatkan perempuan dengan kemampuan pengambilan keputusan yang sama dan pemahaman mengenai gender hubungan internasional dapat di bawa ke arah lain yang lebih baik.

[1]Gillian Young, Feminist International Relation: a contradiction in terms, diakses dalam: https://people.ucsc.edu/~rlipsch/migrated/Pol272/Youngs.pdf (28/10/2018;20:46 WIB). hl. 80-81.

[2] Ibid.

[3] Runyan dan Peterson 1991, 68–69, dalam: Eric M. Blanchard, Gender, International Relations, and the Development of Feminist Security Theory, Signs, Vol. 28, No. 4 (Summer 2003), pp. 1289-1312.

[4] Tickner 1992, 4, dalam: Eric M. Blanchard, Gender, International Relations, and the Development of Feminist Security Theory, Op.Cit.

[5] Tobias 1990; bnd. Elshtain 2000, 445, dalam: Eric M. Blanchard, Gender, International Relations, and the Development of Feminist Security Theory, Op.Cit. hl. 1296.

[6] Eric M. Blanchard, Gender, International Relations, and the Development of Feminist Security Theory, Op.Cit. hl. 1300.

[7] Eric M. Blanchard, Gender, International Relations, and the Development of Feminist Security Theory, Op.Cit. hl.1300-1301.

[8] Martha C. Nussbaum, The Feminist Critique Of Liberalism, The Lindley Lecture, University of Kansas, 1997, diakses dalam: https://kuscholarworks.ku.edu/bitstream/handle/1808/12410/The%20Feminist%20Critique%20of%20Liberalism-1997.pdf;sequence=1 (23/10/2018;14:45WIB). hl. 13-15.

[9] Ibid. hl.5

[10] Sarma R. B, Feminist Political Economy. In Kitchin R, Thrift N (eds) International Encyclopedia of Human Geography, Volume 4, pp. 79–86. Oxford: Elsevier, 2009, hl. 79-84.

[11] Ibid.

[12] Sue Clegg, The feminist challenge to socialist history, Women’s History Review, Volume 6, N0.2 1997. hl. 203-204.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *