last updated on June 20, 2019
PENULIS: Dian Naren Budi Prastiti
EDITOR: M. Fatahillah dan Ryan Muhammad Fahd
COPYRIGHT © IREC INDONESIA 2019
Tulisan ini mendeskripsikan perkembangan teknologi persenjataan yang sudah terjadi di masa-masa sebelumnya serta akan meramalkan perkembangan teknologi persenjataan dan perang yang akan terjadi di masa depan. Menggunakan Power Transition Theory, penulis berpendapat jika penyebab perang di masa depan ialah dikarenakan keinginan perubahan status quo oleh Cina yang terjadi pada tahun 2030. Sedangkan negara-negara yang akan terlibat dalam peperangan tersebut ialah Amerika Serikat dengan Cina yang memiliki sekutu Rusia. Teknologi yang akan digunakan di masa depan sangatlah berbeda dengan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya, yakni dengan Artificial Intelligence (AI) dimana hal tersebut merupakan perkembangan dari kebijakan perang yang berfokus pada tujuan perang untuk menaklukan lawan dan meminimalisir adanya jumlah nyawa korban yang harus dipertaruhkan. Adapun bentuk perang yang mungkin terjadi adalah menggunakan metode perang jarak jauh.
Dalam pembahasannya, makalah ini dibagi menjadi 3 bagian, yakni: perkembangan teknologi persenjataan, power transition theory, serta AI dan Prediksi Perang di Masa Depan.
A. Perkembangan Teknologi Persenjataan
Perkembangan teknologi persenjataan pada dasarnya diklasifikasikan dari batu, besi, dan api (Keegan John,1993). Berawal dari batu digunakan untuk membangun benteng tinggi-tinggi serta menjadi bahan dalam senjata ketapel. Selanjutnya dengan adanya revolusi industri pasca Renaissance membuat produksi besi dan baja dapat dilakukan massal yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan seragam perang dan persenjataan seperti meriam, pistol, hingga kapal laut, dan pesawat terbang. Pada kategori api yang dimaksud disini merupakan senjata yang dihasilkan untuk pemusnahan massal seperti bubuk mesiu, dan nuklir.
Selain adanya perkembangan teknologi seperti yang diuraikan di atas, juga terdapat perkembangan dalam tata cara berperang yang termaktub dalam hukum perang yang didalamnya
termasuk hukum humaniter. Menurut perkembangannya, pada zaman kuno 3000-1500 SM, hukum humaniter dilakukan dengan cara adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh, juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati. Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan terlebih dahulu. Untuk menghindari luka yang berlebihan maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Kemudian di abad pertengahan, hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam, dan prinsip kesatriaan. Ajaran agama Kristen memberikan sumbangan terhadap konsep perang yang adil atau just war. Ajaran Islam memandang bahwa perang adalah sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Prinsip kesatriaan mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan larangan penggunaan senjata-senjata tertentu. Setelahnya di abad Modern, hukum humaniter lahir melalui perjanjian internasional yang dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi ini berisi tentang perlindungan terhadap anggota angkatan perang yang luka atau sakit tanpa membedakan agama dan bangsa. Konvensi Jenewa 1864 terus dikembangkan dan dilengkapi terutama pasca Perang Dunia (PD) II yang banyak menimbulkan korban di pihak penduduk sipil dan lebih bersifat non internasional. Untuk mengakomodasikan keadaan tersebut maka disepakati protokol tambahan I dan II dari Konvensi Jenewa 1949 pada tahun 1977. Tidak seperti masa-masa sebelumya di mana aturan perang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa ini hukum humaniter internasional dikembangkan melalui traktat-traktat umum yang ditandatangani oleh negara-negara. Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi dua bagian; Jus ad Bellum dan Jus in Bello (Kusumaatmadja,1980).
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa dalam peperangan, manusia akan cenderung meminimalisir adanya jumlah korban sehingga kini mulai mengembangkan Artificial Intelligencet (AI). AI sebelumnya sudah digunakan pada Perang Teluk 1991. Pasukan bersenjata Amerika menggunakan tool untuk perencanaan dan analisa dinamis, dengan nama DART (Dynamic Analysis and Replanning Tool) untuk mengotomatisasi perencanaan logistik dan penjadwalan transportasi, yang melibatkan 50.000 kendaraan, kargo, dan orang dalam waktu yang sama, dan juga menghitung titik awal/keberangkatan, tujuan, rute, dan resolusi benturan jadwal maupun parameter-parameter yang lain. Teknik-teknik perencanaan dalam AI hanya memakan waktu bebeapa jam untuk suatu rencana dibandingkan dengan metode lain yang akan menghabiskan waktu beberapa minggu (Russel dkk, 2010).
Lalu terdapat pertanyaan Kapan AI digunakan untuk perang masa depan? Faktor apa yang menyebabkan peperangan tersebut? Untuk menjawabnya penulis menggunakan power transition theory.
B. Power Transition Theory
Seperti yang kita ketahui, terdapat faktor-faktor penyebab perang yakni perbedaan ideologi, perbedaan kepentingan, perebutan wilayah dan sumber daya alam (SDA). Konflik yang didasari oleh perbedaan ideologi sendiri telah lama terjadi, yakni sejak adanya Perang Dingin Amerika Serikat-Uni Soviet. Meski Uni Soviet telah dinyatakan bubar, masih terdapat beberapa negara yang memiliki perbedaan ideologi dengan Amerika Serikat, salah satunya adalah negara Cina. Hal ini diperparah dengan fenomena kemunduran Amerika Serikat sebagai negara hegemoni yang kemudian akan digantikan oleh Cina. Kemunduran unipolar oleh Amerika Serikat dan kebangkitan China sebagai kekuatan unipolar baru dianggap sebagai salah satu sumber ketidakamanan internasional dikarenakan menurut pandangan kelompok realism, sistem bipolar bukanlah merupakan sistem yang paling stabil. Kelompok yang menyebut sebagai Rise and Fall Realism ini berpandangan bahwa tatanan unipolar memiliki kecenderungan untuk lebih stabil jika dibandingkan tatanan bipolar (Wardoyo,2015).
Menurut Wohlforth (1994-1994), pada kondisi unipolar tatanan system internasional lebih stabil karena adanya satu kekuatan utama akan meniadakan rivalitas dan tatanan dengan satu kekuatan utama akan meniadakan upaya untuk menciptakan perimbangan kekuatan. Menurut kelompok ini, kekuatan utama akan senantiasa berusaha untuk memangkas munculnya ancaman dari kekuatan-kekuatan kedua yang berpotensi menandingi kekuatan utama. Maka dari itu, perang-perang yang lebih sering terjadi adalah perang preventif untuk mencegah kemunculan kekuatan revisionis. Hingga pada akhirnya terjadilah perang global yang mengubah tatanan sistem internasional. Penjelasan mengenai perang global dalam pandangan kelompok ini dapat dipahami dengan melihat teori yang disebut power transition theory.
Menurut Power Transition Theory yang dikemukakan oleh A.F.K. Organski, perang terjadi dikarenakan adanya negara yang tidak puas dengan status quo yang ada. Teori Transisi Daya menjelaskan bahwa negara-negara dominan memiliki kekuasaan lebih besar dalam hierarki dan mencoba mengelola sistem global atau regional dengan koalisi pendukung yang stabil dan puas. Tetapi stabilitas tidak selalu mungkin, karena dinamika pertumbuhan mengubah hubungan kekuasaan dan menghasilkan calon penantang yang baru, ketika tidak puas, dapat mencoba menantang status quo yang ada. Ketika penantang tidak puas dengan status quo, risiko perang meningkat. Ketika penantang puas, transisi damai terjadi. Tak jauh berbeda dari Organski, Giplin (1981) berpendapat jika proses transisi berlangsung dari kondisi keseimbangan atau ekulibrium. Dalam perkembangannya, akan muncul perbedaan akumulasi kekuatan secara ilmiah yang menghasilkan negara-negara yang mampu meningkatkan kekuatan secara lebih baik jika dibandingkan dengan negara lainnya yang disebabkan oleh sumber-sumber power yang berbeda. Perbedaan peningkatan kekuatan tersebut kemudian akan menciptakan distribusi baru dalam tatanan sistem internasional sehingga menciptakan ketidakseimbangan atau disekuilibrium. Ketidakseimbangan tersebut harus diselesaikan dengan penyelesaian yang bersifat sistemik dalam bentuk sebuah perang global.
Menurut Giplin, perang global dalam power transition theory berupa perang besar yang mengubah tatanan dimana bersifat ofensif dan pihak kekuatan baru disebut kekuatan revisionis menginisiasi dimulainya perang untuk menggantikan kekuatan utama atau kekuatan status quo. Namun pandangan ini kemudian ditolak oleh Wohlforth yang menilai bahwa kekuatan utama akan senantiasa berusaha memangkas kekuatan revisionis dengan memunculkan perang preventif untuk menjaga hegemoninya di dalam tatanan system internasional. Akibatnya, perang global akan menjadi lebih sulit terjadi dan bisa melanggengkan stabilitas sistem unipolar.Untuk mengaplikasikan teori tersebut, penulis membagi pembahasan teori ini menjadi tiga bagian; rising China sebagai probability of war, ketidakpuasan Cina dalam status quo, dan assertive sebagai perang China-Amerika.
China Rising sebagai Redistribusi Kekuatan (Power) Baru
Pada operasionaliasinya ketika China rising di mana ditandai dengan pertumbuhan ekonomi Cina merupakan tertinggi di Asia dan nomor dua di dunia setelah Amerika, Cina semakin mengancam Amerika setelah negara tersebut memperluas pengaruhnya dengan mengeksploitasi kekuatan ekonominya melalui kerja sama perdagangan, bantuan infrastruktur, investasi, dan strategi ekonomi (Rahmawaty, 2018). Seiring dengan kekuatan ekonomi yang tumbuh, Cina sekarang juga ingin memainkan peran yang lebih dominan dalam Hubungan Internasional. Seperti dalam kekuatan yang muncul, Cina mulai membuat inisiatif tatanan baru di mana Cina tidak hanya terlibat dalam tetapi juga terlibat dalam proses pembuatan aturan sistem global yang selama abad modern ini hampir tidak pernah memasukkan Cina.
Meskipun indeks kapabilitas nasional Amerika Serikat masih unggul, tetapi Cina memiliki potensi untuk mengubah urutan. Kekuatan ekonomi yang disertai dengan perkembangan kekuatan militer kemudian meningkatkan kepercayaan dan keinginan Tiongkok untuk memainkan peran yang lebih dominan dalam hubungan internasional. Di lain waktu, kekuatan Amerika Serikat menurun pada periode yang sama. Jika keduanya berpotongan di titik ekuilibrium, akan ada perang. Titik ekuilibrium dapat dilihat pada tabel di atas (Wardoyo, 2015).
Ketidakpuasan Status Quo yang mengakibatkan Terjadinya Ketidakseimbangan
Cina tidak puas dengan status quo di mana Amerika Serikat adalah negara hegemoni. Cina berupaya mengubah status ini. Presiden Cina Xi Jinping akan mewujudkan ambisinya untuk mengubah Tiongkok menjadi negara adidaya di dunia dengan militer kelas dunia di pertengahan abad ini. Ada dua faktor utama yang menunjukkan peningkatan hegemoni Tiongkok di Asia: besarnya kekuatan militer dan proyeksi kekuatan yang dihasilkan, dan pengaruh ekonomi yang kuat yang dapat ia bangun di wilayah tersebut. Meskipun kebijakan luar negeri Beijing menunjukkan strategi ‘bermain baik’ dan tidak secara langsung menantang kekuatan Amerika Serikat, tetapi ia tetap berusaha untuk mengalihkan kekuatan Amerika Serikat di wilayah tersebut. Kepentingan Cina adalah ingin membentuk tatanan politik dan keamanan baru di Asia, paling tidak dalam satu titik ia memiliki ‘suara’ yang setara dengan Amerika Serikat tentang masalah-masalah kawasan. Cina kurang bersedia untuk menerima status quo yang diyakini selama ini tidak adil dan lebih cenderung berpihak pada kepentingan Amerika Serikat (Syahrin,2018).
Perang untuk Menciptakan Keseimbangan
Bagi Amerika Serikat, langkah selanjutnya untuk mempertahankan negaranya dalam status quo adalah dengan cara memerangi China. Begitu pula sebaliknya, China yang ingin merubah status quo harus perang melawan negara hegemoni yang telah ada sebelumnya. Sebagai contoh dalam konflik Laut China Selatan (LCS). China yang sebelumnya mengklaim LCS sebagai bagian dari wilayahnya, mengumumkan bahwa mereka telah mengirim kapal perang untuk menantang dan mengoperasikan kapal perang Amerika melalui perangkat militernya. Dalam hal ini, Cina yang berupaya memperluas sumber-sumber powernya dihalangi oleh Amerika Serikat. Menurut Giplin, sumber power utama agar suatu negara menjadi negara besar adalah wilayah yang luas, sumber daya alam yang banyak, dan jumlah penduduk yang besar. Untuk bisa berkembang menjadi kekuatan utama, dibutuhkan penguasaan laut yang baik dalam hal ini adalah LCS.
Pada awal 2020-an, para ilmuwan Cina berharap akan mengoperasikan kapal selam besar tanpa awak dan berpotensi bersenjata di lautan dunia, yang ditujukan untuk pasukan musuh di daerah-daerah yang disengketakan seperti Laut Cina Selatan. Dalam hal ini, Cina dibantu oleh Rusia dalam mengembangkan sistem AI. Rusia sudah membantu China dalam membangun dan mencari untuk mengoperasikan kapal selam besar tak berawaknya sendiri yang bertenaga nuklir. Baik Moskow dan Beijing juga memprioritaskan tank robot tak berawak (Peter,2019).
Kedua negara tersebut juga terlibat dalam perang dagang. Perang dagang Amerika Serikat-China bermula saat Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan pada 22 Maret 2018, berkehendak mengenakan bea masuk sebesar US$50 miliar untuk barang-barang Tiongkok di bawah Pasal 301 Undang-Undang Amerika Serikat Tahun 1974 tentang Perdagangan, dengan menyebut adanya “praktik perdagangan tidak adil” dan pencurian kekayaan intelektual. Sebagai pembalasan, pemerintah Tiongkok juga menerapkan bea masuk untuk lebih dari 128 produk Amerika Serikat, termasuk terutama sekali kedelai yang notabene merupakan ekspor utama Amerika Serikat ke Tiongkok. Dampak yang ditimbulkan dari adanya perang dagang tersebut sejumlah sektor industri terkena imbasnya, mulai dari manufaktur, teknologi, jasa hingga ritel. Salah satunya adalah perusahaan telekomunikasi China, Huawei, kian terancam setelah beberapa perusahaan di sejumlah negara di Asia dan Eropa menyatakan akan menunda peluncuran produk terbaru berbasis 5G setelah Amerika Serikat seperti ‘mencari keributan’ dengan memutuskan sejumlah kerja sama dengan produsen telekomunikasi terbesar asal Cina tersebut. Perang dagang ini bagi Amerika Serikat merupakan upaya untuk melemahkan perekonomian Cina untuk tetap mempertahankan status hegemoninya.
C. AI dan Prediksi Perang Masa Depan
Selain terlibat dalam perang dagang dan perang kawasan, baik Amerika Serikat dan China, keduanya juga berseteru dalam bidang teknologi terutama dalam kecerdasan buatan (AI). Saat ini Amerika Serikat sedang khawatir sikap keras Cina berhubung perang dagang akan menular kesengketa tentang teknologi AI. Trump dan administrasinya tahu bahwa China telah membangun ekosistem AI yang bakal direalisasikan pada tahun 2030.
Orang Cina memiliki komitmen yang sangat umum, sangat dalam, sangat baik didanai untuk AI. Jenderal Angkatan Udara Vera Linn Jamieson mengatakannya dengan jelas: “Kami memperkirakan total pengeluaran untuk sistem kecerdasan buatan di Cina pada 2017 adalah $ 12 miliar. Kami juga memperkirakan bahwa itu akan tumbuh setidaknya $ 70 miliar pada tahun
2020.” Menurut Laporan Gedung Putih Obama pada tahun 2016, Cina menerbitkan lebih banyak artikel jurnal tentang pembelajaran mendalam (deep learning) daripada Amerika Serikat dan telah meningkatkan jumlah paten AI sebesar 200%. Cina bertekad untuk menjadi pemimpin dunia dalam AI pada tahun 2030 (Andriole, 2018). Saat ini tingkat teknologi Cina secara keseluruhan sekitar 42 persen dari Amerika Serikat. Sedangkan, pada tahun 2012, enam tahun yang lalu, tingkat teknologi Cina hanya 15 persen dari Amerika Serikat (Suwarno,2019). Rusia pun saat ini tengah melakukan pengembangan terkait AI dimana pangsa pasar AI di industri Rusia akan berjumlah EUR 330 juta pada tahun 2021 serta di lima tahun mendatang, 80% dari semua keputusan domain keuangan Rusia akan diambil melalui AI.
Sementara Presiden Amerika Serikat dan Pentagon memberi sinyal bahwa AI sekarang menjadi prioritas utama bagi keamanan nasional mereka serta persaingan dari Cina dan Rusia mungkin menjadi motivator utama. Presiden Trump mengeluarkan perintah eksekutif pada 11 Februari berjudul “Maintaining American Leadership in Artificial Intelligence” yang berbunyi “Continued American leadership in AI is of paramount importance to maintaining the economic and national security of the United States,” perintah eksekutif tersebut berbunyi (Diaz,2019).
RMA membutuhkan paling sedikit 30 tahun untuk mencapai potensinya secara penuh. Selama jangka waktu tersebut, revolusi dalam pengembangan nanotechnology (yakni mesin perang dalam ukuran sangat kecil), dan pengembangan lebih lanjut dalam robotics akan menghasilkan aneka ragam senjata canggih. Perangkat senjata yang presisi dalam ukuran sangat kecil namun dapat mematikan, senjata mikro dan senjata-senjata lainnya dalam ukuran kecil dapat diangkut dalam jumlah besar oleh peluru penjelajah, peluru kendali atau kendaraan yang dikendalikan dari jarak jauh (RPV: Remotely piloted vehicles). Selain itu, sebuah terminator mungkin akan tercipta, yakni sebuah robot canggih yang mampu melakukan tindakan mandiri terbatas dan didesain untuk menggantikan infantry konvensional di daerah-daerah sulit dan berbahaya seperti di kota maupun hutan-hutan.
Perubahan yang cepat dalam teknologi informasi dan komunikasi juga memungkinkan terjadinya perang informasi. Perang informasi ini sebelumnya pada Perang Dunia Kedua yang meliputi pemecahan kode, analisis signal, pengelabuan dengan menggunakan jaringan radio palsu, dan mengganggu sensor dan sistem pengendalian (Hirst,2004).
KESIMPULAN
Dapat dilihat pada tahun 2030 tersebut, Cina yang dibantu oleh Rusia akan melakukan transisi menggantikan Amerika Serikat dalam status hegemoni dalam status quo. Sehingga dimungkinkan adanya perang AI antara Cina-Rusia dengan Amerika Serikat pada tahun 2030 mengingat kedua negara tersebut memiliki sejarah konflik yang panjang, ditambah dengan perkembangan teknologi yang massif. Bentuk perang yang mungkin terjadi adalah menggunakan metode perang jarak jauh.
Referensi:
- Andriole, Steve. 2018. Artificial Intelligence, China And The U.S. – How The U.S. Is Losing The Technology War. Forbes.com. https://www.forbes.com/sites/steveandriole/2018/11/09/artificial-intelligence-china-and-the-us-how-the-us-is-losing-the-technology-war/#4f2fabd06195 Diakses pada 5 Mei 2019.
- Data armedforces.eu https://armedforces.eu/compare/country_China_vs_USA Diakses pada 29 November 2018
- Hirst,Paul. 2004. War and Power in The 21st Century, Perang dan Kekuatan di Abad ke-21 Konflik Militer, Negara, dan Sistem Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
- Keegan John .1993. A History of Warfare. Sydney:PIMLICO
- Kusumaatmaja, Mochtar, 1980. Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia.. Bandung: Ganesha.
- Okezone News. Global Times: China Terancam Perang Lawan Amerika Serikat. https://news.okezone.com/read/2015/05/25/18/1154915/global-times-china-terancam-perang-lawan-as. Diakses pada 7 November 2018.
- Russel,Stuart., Norvig, Peter. (2010). Artificial Intelligence, A Modern Approach. Pearson 3rd Ed.
- Suwarno, Ricky. 2019. Teknologi China vs Teknologi Amerika. Kumparan.com. https://kumparan.com/ricky-suwarno/teknologi-china-vs-teknologi-amerika-1553913339316284637 Diakses pada 5 Mei 2019.
- Syahrin, Najeri. 2018. China versus Amerika Serikat: Interpretasi Rivalitas Keamanan Negara Adidaya di Kawasan Asia Pasifik. Global & Strategis, Vol.12, No.1.
- Trading Economics. https://tradingeconomics.com/china/gdp-growth Diakses pada 1 Desember 2018
- Wardoyo,Broto. 2015. Perkembangan, Paradigma, dan Konsep Keamanan Internasional & Relevansinya untuk Indonesia. Indonesia:Nugra Media
- Yasinta,Veronika. Xi Ingin Jadikan China Negara Adikuasa dengan Militer Kelas Dunia. Kompas. https://internasional.kompas.com/read/2017/10/25/11300031/xi-ingin-jadikan-china-negara-adikuasa-dengan-militer-kelas-dunia
- Zachary Cohen. 2016. “Photos reveal growth of Chinese military bases in South China Sea”. Diakses melalui http://edition.cnn.com/2016/05/13/politics/china-military-south-china-sea-report/, tanggal 20 November 2018
- Peter Apps. 2019. “Commentary: Are China, Russia winning the AI arms race?”. Diakses melalui https://www.reuters.com/article/us-apps-ai-commentary/commentary-are-china-russia-winning-the-ai-arms-race-idUSKCN1P91NM pada 10 Mei 2019