Penulis: Iskandar Hamonangan
Editor: Musfiroh, Muhammad Kamil Ghiffary Abdurrahman
Copyright © Irec Indonesia 2019
Habibie terjun ke dalam urusan internasional Indonesia secara resmi dimulai ketika dia terpilih sebagai Wakil Presiden negara pada Maret 1998. Beliau ditunjuk oleh Presiden Suharto sebagai Wakil Presiden pertama ‘eksekutif’. Selain itu, beliau juga bertanggung jawab dalam mengembangkan dan meningkatkan hubungan ekonomi eksternal negara serta menjalin hubungan di luar negeri untuk meningkatkan kemampuan sains dan teknologi. Habibie juga diharapkan untuk mengembangkan hubungan yang lebih dekat dengan dunia Islam.
Semasa menjabat sebagai Presiden, Habibie percaya bahwa ada tiga faktor utama yang paling penting mengenai pendekatan Indonesia terhadap urusan internasional. Pertama, ada kebutuhan untuk memahami bahwa ‘kebangkitan bangsa’ telah terjadi. Kedua, tidak ada jalan keluar dari fakta bahwa terdapat perhatian yang besar terhadap hak asasi manusia beserta nilai-nilainya, dan hal tersebut dianggap sebagai tanggung jawab integral bagi rakyat dan negara Indonesia. Ketiga, pandangan bahwa umat manusia berada dalam posisi untuk mengendalikan dan mengembangkan aspek fisik dan non-fisik dari kekuasaan. Dalam konteks ini, hubungan luar negeri Indonesia harus dilakukan dengan batas-batas parameter tersebut (Singh, 2000:237).
Sebelum menjadi presiden, Habibie menyatakan secara terbuka pada sejumlah kesempatan bahwa dia menganggap Presiden Soeharto sebagai mentornya dan merupakan ‘guru politik’ baginya. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa banyak orang yang skeptis bahwa ia akan memerintah secara berbeda dari pendahulunya. Pada kenyataannya, Habibie menunjukkan di awal masa kepresidenannya bahwa dia adalah tipe pemimpin yang berbeda. Menurut Anwar dalam bukunya yang berjudul The Habibie Presidency: Catapulting Towards Reform (2010, p. 102), Habibie memiliki pendekatan yang berbeda dengan bagaimana Soeharto memerintah dalam masa jabatannya. Pada masa jabatannya, Presiden Soeharto memastikan kontrol politiknya yang tak tertandingi dengan memberlakukan sensor ketat terhadap media, membatasi kebebasan berbicara dan berserikat, memenjarakan lawan-lawan politik, dan melihat konsep hak asasi manusia sebagai sesuatu yang asing bagi nilai-nilai Indonesia, Presiden Habibie justru melakukan yang sebaliknya.
Motivasi dari kebijakan-kebijakan Habibie memang dapat dikaitkan dengan berbagai tekanan masyarakat yang ada saat itu dan keinginannya untuk memenangkan dukungan rakyat. Namun dengan semangatnya, dia mampu melakukan beberapa inisiatif reformasi yang beberapa di antaranya cukup radikal yang berdampak buruk terhadap kepentingan politiknya (Habibie, 2006:213).[1] Melalui langkah-langkah yang diambil, Habibie menunjukkan perhatian dan komitmen terhadap reformasi untuk mengatasi dan memperbaiki kondisi negara. Jika Habibie hanya peduli untuk memenangkan persetujuan publik, dia mungkin akan lebih selektif, dengan memperkenalkan reformasi yang lebih populer, dan menghindari kebijakan yang akan memiliki konsekuensi negatif bagi nasib politiknya sendiri. Sebaliknya, Habibie tidak menghindar untuk memperkenalkan sejumlah reformasi dan perubahan yang penting, meskipun dia sendiri mengetahui dengan jelas konsekuensi dari kebijakan dan perubahan tersebut (Anwar, 2010:104).
Dukungan Habibie terhadap kebebasan pers, liberalisasi partai-partai politik, melanjutkan dan meningkatkan kerja sama dengan organisasi multilateral seperti CGI, IMF, World Bank, ADB, IDB, dan ILO, serta kebijakan desentralisasi dengan mengalihkan kekuasaan ke daerah-daerah menunjukkan komitmen Habibie dalam proses reformasi demi pembangunan Indonesia. Pada Mei 1998, saat melanjutkan pemerintahan setelah Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie berada di posisi yang lemah. Habibie tidak hanya mendapat perlawanan dari oposisi di luar parlemen tetapi ia juga harus menghadapi manuver-manuver dari kubu nasionalis maupun tentara dalam tubuh Golkar, yang ingin menyingkirkannya melalui Sidang Istimewa MPR. Mandat reformasi dan demokrasi disuarakan oleh oposisi di luar parlemen dan mahasiswa (Visnhu dan Herdi, 2001:1).
Mengenai masalah Timor Timur, jelas bahwa Presiden Habibie adalah penggerak utama dalam memberikan orang Timor Timur pilihan integrasi atau kemerdekaan karena Habibie tidak menginginkan persoalan Timor Timur tetap menjadi beban bagi Indonesia di masa mendatang (Anwar, 2010:104). Pada saat itu, Indonesia mendapatkan berbagai tekanan dari negara-negara barat (He, 2005:36). Aneksasi Indonesia terhadap Timor Timur dan integrasinya ke dalam Republik Indonesia pada tahun 1976, setelah kepergian pemerintahan kolonial Portugis, tidak pernah diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mayoritas anggotanya. Hal ini menjadi penghalang utama dalam hubungan internasional Indonesia dan sangat mencoreng citra negara, khususnya di negara-negara Barat (Anwar, 2010:111).
Promosi kebebasan sipil di bidang kebebasan media merupakan langkah reformasi yang paling menonjol yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie. Pada pemerintahan sebelumnya, Soeharto mengendalikan media tidak hanya dengan berbagai cara melalui kontrolnya atas izin penerbitan (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, SIUPP). Lisensi ini tidak hanya sulit diperoleh bagi awak media, namun juga pemerintah dapat mencabut izin tersebut sesuai kebijaksanaan pemerintah, dan memaksa editor untuk melakukan self-censorship yang ketat (Anwar, 2010:105).
Penutup
Sejak beralihnya pemerintahan Presiden Suharto pada tahun 1998, di bawah pemerintahan Presiden Habibie, Indonesia memulai perjalanannya menuju demokrasi. Legitimasi kebijakan Habibie pada masa pemerintahannya cenderung lemah karena adanya transformasi pemerintahan secara transisi, kritik dari berbagai pihak nasionalis dan oposisi Habibie pada saat itu. Presiden Habibie dianggap sebagai pewaris rezim yang otoriter dan efektif oleh berbagai pihak, namun di lain sisi, ia juga terbukti memiliki semangat demokratis yang tinggi. Meskipun banyak yang menganggap kebijakan-kebijakan Habibie sebagai kebijakan yang kontroversial dan menimbulkan berbagai perbedaan pendapat pro dan kontra, kebijakan-kebijakan tersebut telah membentuk wajah dari sistem politik Indonesia yang demokratis, hingga hari ini, sebagai negara demokrasi peringkat ketiga di dunia.
References
Anwar, D. F., 2010. The Habibie Presidency: Catapulting Towards Reform. s.l.:ANU Press.
Habibie, B. J., 2006. Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri.
He, K., 2005. Indonesia’s Foreign Policy after Soeharto: international Pressure, Democratization, and Policy Change. s.l.:Arizona State University.
Singh, B., 2000. Habibie’s Foreign Policy in Succession Politics in Indonesia: The 1998 Presidential Elections and the Fall of Suharto. London: Macmillan Press.
Visnhu, J. & Herdi, S., 2001. Reformasi Indonesia Pasca Soeharto: Dari BJ Habibie sampai Abdurrahman. [Online] Available at: http://staff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/reformasiindonesiapascasoehartodaribjhabibiesampaiabdurrahman.pdf[Accessed 3 December 2018].
[1] Pada masa pemerintahannya, Indonesia tengah mengalami gejolak moneter yang turut memberikan pengaruh yang semakin buruk terhadap perekonomian, ketahanan, dan pembangunan nasional. Sehingga diperlukan keputusan yang radikal dalam upaya pengembalian kondisi Indonesia, meskipun hal ini memiliki dampak buruk terhadap posisinya.