Review Dinamika Politik Internasional : Koremenos, Barbara. Loosening The Ties That Bind: A Learning Model of Agreement Flexibility. International Organization, Vol. 55, No. 2. (2001). 289 – 325.

Di dalam sistem internasional yang anarki, negara – negara di dunia dihadapkan dengan ketidakpastian yang membingungkan. Hal ini didukung oleh pernyataan Bruce Russett yang mengatakan bahwa di dunia yang anarki ini, semua negara terkurung dalam keadaan yang tidak pasti dan beresiko.1 Begitu pula dalam upaya menjalin hubungan dan kerja sama, suatu negara dipertemukan dengan ketidakpastian yang mungkin dapat merugikannya. Ketidakpastian – ketidakpastian yang ditemui mempengaruhi sikap dan tindakan suatu negara untuk menentukan pilihan dalam menjalankan sebuah kesepakatan atau perjanjian. Alasan inilah yang mendasari Barbara Koremenos untuk menuangkan pemikirannya mengenai solusi akan ketidakpastian perjanjian dalam tulisannya yang berjudul Loosening The Ties That Bind: A Learning Model of Agreement Flexibility.

Dalam tulisannya, Koremenos mengembangkan model matematika dan menyampaikan pendapatnya mengenai durasi yang optimal dan renegosiasi ketentuan perjanjian internasional. Pemikirannya ini didasarkan pada gagasan bahwa konsekuensi distribusi dari perjanjian baru mungkin tidak diketahui dengan pasti pada saat pihak pertama merundingkan perjanjian.2 Ketidakpastian dalam lingkungan internasional menyebabkan negara memilih jangka waktu tertentu dan ketentuan renegosiasi. Ketentuan – ketentuan tersebut mempengaruhi apakah negara-negara memahami perjanjian internasional dan apakah mereka mengingkarinya atau tidak. Koremenos mengembangkan sebuah model dengan tujuan agar para pihak yang sepakat dapat belajar dan mengevaluasi dari waktu ke waktu tentang biaya dan manfaat perjanjian.

Koremenos merincikan faktor – faktor kunci dalam teorinya yang dapat mempengaruhi negara dalam menentukan durasi perjanjian dan melakukan renegosiasi. Faktor – faktor tersebut adalah tingkat ketidakpastian perjanjian (degree of agreement uncertainty) dan tingkat kebisingan di lingkungan (degree of noise in the environment).3 Dalam teorinya, Koremenos mengungkapkan korelasi antara kedua faktor tersebut bahwa semakin besar ketidakpastian, semakin besar kemungkinan negara ingin membatasi durasi perjanjian dan melakukan renegosiasi. Dan semakin besar kebisingannya, maka semakin sulit untuk mengetahui bagaimana sebuah kesepakatan/perjanjian dapat bekerja. Kesepakatan adalah pengalaman yang baik di mana pengetahuan tentang efeknya dapat ditentukan hanya dengan melakukannya dan mengamati hasilnya.

Di dalam sebuah perjanjian, pembagian (distribusi) keuntungan adalah suatu hal sangat diperhatikan oleh pihak yang terlibat dalam perjanjian. Pembagian keuntungan yang disepakati dalam perjanjian awal mencerminkan kekuatan tawar relatif dari kedua pihak. Dalam perjanjian internasional, negara – negara dihadapkan antara dua jenis perjanjian yaitu kesepakatan dengan durasi tak terbatas dan kesepakatan berdurasi terbatas yang diikuti oleh kesepakatan dengan durasi tak terbatas.4 Koremenos menyederhanakannya dengan penjelasan dua periode. Secara formal, pilihan itu berubah menjadi satu kesepakatan dengan dua periode tanpa negosiasi ulang atau dua kesepakatan dengan satu periode dengan renegosiasi untuk mengevaluasi kembali distribusi keuntungan. Renegosiasi terjadi setiap kali kesepakatan jangka waktu terbatas berakhir dan menghasilkan informasi yang diperoleh pada periode sebelumnya, tetapi tidak mengubah daya tawar.

Koremenos menyampaikan hipotesanya bahwa bagi pihak yang menghindari risiko (risk-averse), peningkatan ketidakpastian perjanjian meningkatkan nilai renegosiasi. Oleh karena itu, hal ini membuat para pihak lebih cenderung memilih perjanjian yang dirundingkan kembali yaitu dua kesepakatan dengan satu periode dari pada kesepakatan perjanjian yang tidak ada renegosiasi (satu kesepakatan dua periode). Selain itu, bagi pihak yang menghindari risiko (risk-averse), peningkatan kebisingan akan mengurangi nilai renegosiasi. Oleh karena itu, hal ini menyebabkan para pihak lebih cenderung memilih perjanjian yang tidak ada renegosiasi (satu kesepakatan dua periode) dari pada perjanjian dengan renegosiasi (dua kesepakatan satu periode).5

Semakin berkembangnya waktu, model teori Koremenos ini mengalami perkembangan dan perluasan hingga terdapat bentuk perjanjian dengan waktu hingga tak terbatas. Kini, negara – negara menghadapi pilihan baru yaitu tidak ada kesepakatan (No Agreement), satu kesepakatan berdurasi tak terbatas, dan satu kesepakatan berbatas waktu diikuti dengan keepakatan berdurasi tak terbatas. Jika negara-negara memilih untuk menegosiasikan kembali perjanjian tersebut, mereka harus menyepakati waktu untuk melakukan renegosiasi. Kredibilitas komitmen dalam menghadapi ketidakpastian membutuhkan trade-off antara fleksibilitas dan kendala. Model Koremenos ini menunjukkan bahwa alasan kita tidak melihat banyak pihak yang mengingkari perjanjian sebenarnya adalah karena durasi dan renegosiasi ketentuan perjanjian telah dipilih dan dilakukan dengan cara yang dapat meminimalisir risiko.

Dalam makalah review ini, penulis membandingkan pemikiran Barbara Koremenos dengan pemikiran Kal Raustiala dalam karya tulisnya yang berjudul ‘Form and Substance in International Agreement’. Selain itu, penulis juga menghadirkan pendapat dari tokoh lainnya yaitu Mark S. Copelovitch dan Tonya S. Putnam dalam tulisan mereka yang berjudul ‘Uncertainty, Context, and The Duration of International Agreements’ dan Andrew T. Guzman dalam tulisannya ‘The Design of International Agreements’ untuk mendukung penulis dalam memberikan elaborasi mengenai beberapa terminologi mengenai International Agreement. Secara garis besar, Barbara Koremenos dan Kal Raustiala memiliki pendapat yang sama bahwa bentuk dan kerangka (design) dari International Agreement itu sangatlah bervariasi. Singkatnya, Barbara Koremenos melihat dan membagi bentuk kesepakatan internasional (International Agreement) dari durasi perjanjian. Sedangkan Kal Raustiala menitikberatkan bentuk kesepakatan internasional dari ikatan dalam hukum (legally binding dan non-legally binding).

Kedua tokoh, Barbara Koremenos dan Kal Raustiala juga membahas mengenai fleksibilitas (flexibility) dalam perjanjian atau kesepakatan internasional dalam tulisannya. Sebelum membandingkan pendapat dari kedua tokoh, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan istilah flexibility. Menurut Andrew T. Guzman, fleksibilitas diartikan sebagai hukum lunak yang memungkinkan suatu negara untuk menyesuaikan komitmennya dengan keadaan yang ada.6 Koremenos menyatakan bahwa fleksibilitas dibutuhkan agar dapat menciptakan kredibilitas dalam menghadapi ketidakpastian dalam menjalankan kesepakatan. Ia menawarkan sebuah solusi bahwa untuk menciptakan kesepakatan yang efektif dan mencapai fleksibilitas, diperlukan ketentuan durasi yang tepat dan renegosiasi kesepakatan.7 Durasi yang tepat akan dapat mengevaluasi efesiensi waktu perjanjian dan renegosiasi akan membantu negara – negara untuk mengevaluasi biaya dan manfaat atau distribusi keuntungan sebagai hasil dari kesepakatan.

Koremenos menuangkan pemikirannya tersebut ke dalam sebuah bentuk model matematika. Model pembelajaran mengenai durasi dan renegosiasi yang ditawarkan oleh Barbara Koremenos menimbulkan sebuah kritik bagi penulis. Penulis menilai bahwa model matematika yang ditawarkan oleh Barbara Koremenos sangatlah rumit karena variabel – variabel dalam model tidak dijelaskan secara rinci. Selain itu, hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan mengenai bagaimana model matematika ini dapat diterapkan secara nyata karena Koremenos dalam tulisannya tidak begitu mengaplikasikan model matematikanya dalam sebuah contoh kasus.

Penulis akan melanjutkan pembahasan mengenai fleksibilitas dalam kesepakatan atau perjanjian menurut Kal Raustiala. Dalam karya tulisnya, Kal Raustiala lebih memfokuskan pembahasan pada bentuk dan substansi dalam International Agreement. Kal Raustiala mengatakan bahwa dalam perjanjian atau kesepakatan, suatu negara akan menentukan sikapnya berdasarkan kombinasi dari kredibilitas dan fleksibilitas, konfigurasi kekuatan, permintaan domestik dan struktur dari institusi domestik.7 Fleksbilitas erat kaitannya dengan ketentuan negara untuk memilih bentuk kesepakatan dengan istilah yang disebut dengan pledge daripada contract. Hal ini dikarenakan pledge diartikan sebagai kesepakatan yang tidak mengikat secara hukum (non-legally binding) , sedangkan contract adalah kesepakatan yang mengikat secara hukum (legally binding).

Selain itu, pilihan contract dan pledge juga ditentukan oleh apa yang disebut dengan Three Dimensions of Institutional Design yang meliputi legality, substance, dan structure. Berdasarkan legalitas (legality), perjanjian atau kesepakatan internasional yang kontemporer tidak selalu berbentuk mengikat secara hukum atau berbentuk persetujuan tertulis. Hal ini ditunjukkan dengan saat perjanjian – perjanjian saat ini yang persetujuannya berbentuk tak tertulis.8 Banyak pengamat mengatakan bahwa kerja sama antar negara dalam bentuk pledge telah banyak terjadi. Beralih ke substansi (substance), substansi diartikan sebagai komitmen substantif yang ada dalam persetujuan. Sebagai contohnya, apakah persetujuan tersebut mengharuskan sebuah negara untuk menahan diri dari senjata nuklir atau tidak. Untuk menyederhanakan ini, Raustiala membaginya menjadi dua istilah yaitu deep (dalam) dan shallow (dangkal).9 Selanjutnya, struktur (structure) mengacu kepada aturan atau prosedur yang tercipta untuk mengawasi pihak yang terlibat dalam perjanjian.10 Untuk mempermudah penjelasannya, Raustiala juga membaginya menjadi dua istilah yaitu weak (lemah) dan strong (kuat).

Dari ketiga dimensi kerangka institusi diatas, dapat disimpulkan bahwa secara umum ketiganya terbagi ke dalam dua bentuk yaitu bentuk yang mengikat dan tidak mengikat. Dan bentuk yang tidak mengikat akan memungkinkan suatu negara untuk menyesuaikan keadaannya dalam perjanjian. Oleh karena itu, bentuk pledge yang dikatakan tidak mengikat secara hukum menjadi solusi dan pilihan dalam menghadapi ketidakpastian dalam perjanjian atau kesepakatan. Hal ini dikarenakan bentuk pledge yang tidak mengikat akan membuat suatu negara menjadi luwes atau leluasa dalam menyesuaikan keadaannya. Selain itu, pledge juga dikatakan dapat membuat komitmen perjanjian menjadi lebih dalam karena dalam ketidakpastiaan, pledge akan membutuhkan pengawasan (monitoring) dan review. Penulis berpendapat bahwa hal inilah yang mendasari mengapa bentuk pledge memberikan fleksibilitas dan menjadi solusi yang efektif dalam menghadapi ketidakpastian yang tinggi.

Lalu, apakah hubungan dari fleksibilitas menurut Kal Raustiala dan Barbara Koremenos? Pemikiran Kal Raustiala memberikan jawaban yang mendukung dan lebih rinci mengenai kepatuhan (compliance) dalam perjanjian. Menurut penulis, negara – negara yang terlibat dalam perjanjian patuh dalam perjanjian bukan hanya dipengaruhi oleh cara menentukan durasi yang optimal dan renegosiasi yang telah meminimalisir resiko, tetapi juga tingkat kepatuhan (compliance) yang muncul dari bentuk perjanjian pledge. Hal ini dikarenakan bentuk pledge tidak mengikat negara sehingga negara memiliki fleksbilitas dalam menyesuaikan keadaannya dalam perjanjian dan fleksibilitas dapat membuat negosiasi ulang menjadi lebih mudah.11 Selain itu juga karena ketidakpastian yang ada, bentuk perjanjian peldge didukung oleh monitoring dan review yang membuat komitmen antar negara menjadi lebih dalam.

Selanjutnya penulis melanjutkan pembahasan mengenai kritik penulis terhadap penjelasan istilah ketidakpastian dan mekanisme durasi dan negosiasi ulang menurut Barbara Koremenos. Penulis berpendapat bahwa Koremenos belum menjelaskan secara rinci mengenai apa yang dimaksud dengan ketidakpastian. Ketidakpastian menurut Barbara Koremenos disebut dengan degree of uncertainty yang sebenarnya ketidakpastian merupakan suatu hal yang abstrak dan tidak dapat dihitung. Dalam model Koremenos, ketidakpastiaan diartikan sebagai suatu keadaan yang memberikan shock secara dramatis karena mengubah distribusi keuntungan dari suatu perjanjian. Mark S. Copelovitch dan Tonya S. Putnam menyederhanakan konsep ketidakpastian ini dengan dua istilah yaitu High Uncertainty dan Low Uncertainty.12 High Uncertainty didefinisikan sebagai perubahan pada lingkungan ekonomi dan politik yang menyebabkan distribusi keuntungan berubah secara substansial. Sedangkan Low Uncertainty diartikan dengan kemungkinan yang rendah akan terjadinya perubahan distribusi keuntungan dalam sebuah perjanjian.

Mengenai mekanisme durasi dan negosiasi ulang, Copelovitch dan Putnam mengatakan bahwa preferensi penentuan durasi perjanjian dan negosiasi ulang dipengaruhi oleh informasi dari kerjasama sebelumnya dan karakter negara.13 Jika negara – negara mendapat pembelajaran dari pengalaman perjanjian atau kerjasama sebelumnya sehingga mereka menjadi lebih peka mengenai distribusi keuntungan dan lebih menghindari risiko (risk-averse). Oleh karena itu, negara akan lebih menyukai untuk memilih perjanjian dengan durasi yang lebih pendek atau tidak melakukan perjanjian. Sedangkan jika negara – negara mendapatkan manfaat dan keuntungan melalui kerja sama maka mereka akan lebih menyukai untuk melakukan negosiasi ulang dan bersedia untuk melakukan perjanjian dengan durasi yang lebih lama.  Singkatnya, meskipun hal ini merupakan penjelasan yang bagus untuk percaya bahwa kerjasama ulang mempengaruhi variabel yang diidentifikasi oleh Koremenos sebagai penentu utama dari durasi perjanjian, arah pengaruh dari variabel tersebut tidak dapat menjelaskan keadaan sebelum perjanjian dilakukan.

Dari pembahasan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa penjelasan Kal Raustiala mengenai flexibility telah mendukung dan memperjelas pernyataan Barbara Koremenos mengenai mengapa banyak negara yang tidak mengingkari perjanjian. Penulis setuju terhadap pernyataan Kal Raustiala bahwa tingkat kepatuhan (compliance) berperan penting dalam menciptakan perjanjian yang efisian dan hal ini tidak hanya disebabkan oleh cara penetapan durasi perjanjian dan negosiasi ulang yang meminimalisir risiko semata. Kal Raustalia memberikan penjelasan mengenai bentuk dan kerangka perjanjian yang melengkapi pemikiran Barbara Koremenos mengenai International Agreement. Selain itu, penjelasan dari Mark S. Copelovitch dan Tonya S. Putnam juga telah memberikan penjelasan dan gambaran yang mudah mengenai uncertainty dan mekanisme durasi perjanjian dan renegosiasi.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Copelovitch, Mark S. & Putnam, S. Tonya. Uncertainty, Context and The Duration of International Agreements. La Follette School Working Paper No. 2007-036.

Dunne, Timothy, Milja Kurki, dan Steve Smith. International Relations Theories: Discipline and Diversity. Oxford: University Press, 2013.

Guzman, Andrew T. The Design of International Agreement. The European Journal of International Law Vol. 16 no.4. (2005). hlm. 579 – 612.

Koremenos, Barbara. Loosening The Ties That Bind: A Learning Model of Agreement Flexibility. International Organization, Vol. 55, No. 2. (2001). hlm. 289 – 325.

Raustiala, Kal. Form and Subtance in International Agreement. The American Journal of International Law Vol. 99 no.3. (2005). hlm. 581 – 614.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *