Teknologi Neuro dalam Transformasi Militer

last updated on June 25, 2019
Editor: Bambang D. Waluyo dan Impiani
PENULIS: Ryan Muhammad Fahd  
COPYRIGHT © IREC INDONESIA 2019

Tulisan ini akan berupaya menjawab pertanyaan “Apakah teknologi neuro mengubah cara berperang?”. Untuk menjawab pertanyaan ini penulis mengajukan dua kriteria. Kriteria pertama, suatu teknologi dapat mengubah perang jika mampu melampaui teknologi paling mutakhir pada zamannya. Kriteria kedua adalah teknologi tersebut harus sudah diaplikasikan oleh badan militer suatu negara. 

Kerangka Konseptual

Untuk menjawab pertanyaan ini penulis akan menggunakan konsep Transformasi Militer. Transformasi Militer didefinsikan sebagai “perubahan yang terjadi dalam doktrin, struktur, dan teknologi suatu organisasi militer”. Teknologi mengacu pada penggunaan ilmu alam untuk memecahkan problematik manusia, dalam konteks ini problematik militer. Doktrin mengacu pada untuk apa, mengapa, dan bagaimana seharusnya kapasitas militer digunakan (Posen). Struktur mengacu pada bagaimana organisasi militer dikelola (Sloan, 2008: 3-14).

Perubahan ini juga tidak serta merta sama dengan perubahan teknologi ke arah yang lebih modern, tetapi juga bagaimana cara menggunakan teknologi secara kreatif. Sloan (2008:13) mencontohkan penggunaan kuda oleh tentara AS pada pertempuran Mazar-e-Sharif. Dengan menggunakan konsep ini kita bisa melihat apakah “Teknologi Neuro” sudah diintegrasikan dalam triad transformasi militer. Jika kondisi di atas sudah terpenuhi, apakah teknologi tersebut mampu melampaui teknologi mutakhir pada zamannya? Untuk itu kita harus menelisik periodisasi cara berperang. 

Martin Van Creveld (1991)  secara eksklusif membagi periode perang dalam kaitannya dengan teknologi. Ia membaginya dalam empat periode yakni; (1) Age of Tools, ketika alat-alat perang secara umum digerakkan oleh otot manusia dan hewan; (2) Age of Machine, ketika teknologi militer bersumber dari bahan-bahan non-organik seperti bubuk mesiu; (3) Age of System, ketika perkakas tersebut terintegrasi dalam suatu sistem kompleks teknologi militer, seperti rel kereta api; (4) dan terakhir Age of Automation, ketika sistem yang kompleks dapat mendeteksi perubahan dalam sistem dan meresponnya secara mandiri. 

Pemikir kedua yang membahas soal ini adalah Knox dan Murray (2001). Keduanya membuat periodisasi revolusi militer ke dalam lima tahap. Periode pertama terjadi pada abad ke-17, ketika konsep negara bangsa dalam sistem Westphalia terbentuk, saat itu jugalah lahir tentara profesional pertama. Periode kedua, pada saat Revolusi Perancis yaitu ketika sistem mass conscription dan juga doktrin Perang Semesta diberlakukan, yaitu saat seluruh elemen dalam negara dapat diorientasikan untuk peperangan. Periode ketiga, pada Revolusi Industri yaitu ketika produksi skala industri memungkinkan produksi massal perlengkapan tempur, serta menciptakan teknologi seperti kereta api yang berguna untuk memobilisasi tentara. Periode keempat adalah PD 1 & PD 2 yang mulai memperkenalkan kapal selam, taktik Blitzkrieg, radar, dan lain-lain. Peridode kelima adalah senjata nuklir dan rudal balistik. Periodisasi kedua analis ini ditambahkan oleh Hoffman (2017) yakni periode keenam yang ditandai dengan penggunaan informasi, seperti penggunaan domain siber untuk berperang. Kemudian periode ketujuh adalah otomasi, yaitu saat suatu teknologi militer mampu memberikan pilihan mandiri terhadap situasinya berdasarkan pengetahuannya mengenai dirinya dan sekelilingnya. Hoffman mencontohkannya dengan Artificial Intelligence, Big Data Analytics, dan lain-lain. 

Perbedaan Van Creveld dengan Hoffman, Knox & Murray adalah ketiga analis ini tidak berbicara eksklusif soal teknologi, tetapi semuanya bersepakat cara perang dengan otomasi adalah cara berperang paling mutakhir. Dengan demikian, teknologi neuro harus lebih mutakhir dibanding teknologi otomasi. Indikator kemutakhirannya adalah teknologi tersebut mampu memodifikasi apa yang tidak bisa dimodifikasi oleh teknologi otomasi.

Dari penjabaran di atas, dapat ditarik suatu pemahaman yakni ada dua kondisi yang mampu mengubah perang. Pertama, teknologi tersebut harus melampaui zamannya dan kedua, teknologi tersebut sudah harus diaplikasikan. Jika yang terpenuhi hanya kondisi pertama, teknologi tersebut hanya berpotensi mengubah perang dan belum mengubah cara perang. 

 

Teknologi Neuro

Teknologi Neuro dapat didefinisikan sebagai teknologi yang mampu memahami dan memanipulasi cara kerja otak atau sistem saraf pusat.

Arnin Krishnan, sejauh yang penulis temukan merupakan pelopor dalam studi penggunaan teknologi neuro. Secara umum, ia mengidentifikasi bahwa terdapat tiga jenis penggunaan teknologi neuro yang mempunyai dampak langsung pada cara orang berperang, yakni (1) human enhancement technologies; (3) intelligence and security application of neuroscience & technology; (3) performance degradation technology atau neuroweapon (Krishnan, 2017: 10).

Neuroweapon sendiri ia definisikan secara spesifik sebagai senjata perang, yaitu penggunaan senjata yang khusus menargetkan otak atau sistem saraf pusat untuk mengubah keadaan mental, kapasitas mental, dan perilaku manusia (Krishnan, 2017: 11).

Delivery teknologi neuro itu sendiri bermacam-macam mulai dari obat-obatan, suara, agen kimia dan biologis, dan lain-lain.

 

Penggunaan Teknologi Neuro dalam Konteks Militer

Penggunaan bentuk-bentuk awal  neuroweapon paling awal yang dicatat oleh Krishnan (2017) adalah Proyek Bluebird & Proyek Artichoke. Keduanya merupakan proyek Central Intelligence Agency (CIA) yang didesain untuk menciptakan teknik interogasi yang lebih efisien. Proyek Bluebird [1949-1951] menggunakan hipnotis dan obat-obatan dan Proyek Artichoke [1951-1957] menggunakan situasi yang dapat menimbulkan sensasi tertentu pada keadaan mental manusia, seperti sleep deprivation dan total isolation.

Metode ini berlanjut dengan MK Ultra, tidak banyak yang diketahui soal proyek ini karena banyak dokumen-dokumennya yang dihancurkan. Secara umum yang dilakukan oleh proyek ini adalah meneruskan dua proyek sebelumnya, namun dalam cakupan yang lebih luas yaitu Behavioral Research Program. Di antaranya, MK Ultra mencoba menggunakan Lysergic Acid (LSD) dan juga psychic driving, di mana para eksperimenter memberikan obat yang memicu tidur (sleep-inducing) dan pada interval-interval tertentu mereka memberikan pesan-pesan verbal repetitif yang ditujukan untuk mengubah kepribadian para subjek.

Selain ketiga proyek ini ada MK Naomi yang merupakan riset senjata kimia dan biologi untuk tujuan pembunuhan senyap. DERBY HAT & MK Delta merupakan eksperimen truth drug  untuk agen-agen yang tertangkap.  Ada pula QKHILLTOP untuk menginvestigasi teknologi cuci otak yang dilakukan oleh RRC (Krishnan, 2017: 25).

Hal ini merupakan konteks historis yang melingkupi teknologi neuro, namun bagaimana aplikasi militernya pada saat ini?

Dalam domain enhancement, teknologi neuro yang digunakan adalah (1) neurofarmasi untuk meningkatkan performa tentara di lapangan, namun teknologi ini masih menjadi polemik karena efek sampingnya yang belum dapat teratasi; (2) brain simulation yang menggunakan gelombang elektromagnetik & non-invasif yang memberikan stimulus pada otak. Teknologi ini mampu mengubah mood, persepsi, dan bahkan menunjukkan potensi untuk membantu tentara pulih dari sakit mental akibat perang; (3) brain-computer interface yang mampu menyambungkan otak dengan perangkat komputer sehingga kondisinya dapat terus dimonitor; (4) kemungkinan penggunaan teknologi genetik, mulai dari ‘penciptaan’ organ-organ sebagai cadangan jika ada tentara yang kehilangannya, sampai modifikasi genetik untuk menciptakan tentara dengan kemampuan lebih, dengan menyatukan genomnya dengan genom hewan. Krishnar (2017:74) mencontohkan dengan manusia yang diberikan kekuatan gorila atau hewan yang cerdas sehingga mampu dipergunakan untuk perang, dalam hal ini kera merupakan hewan yang paling potensial (Krishnan, 2017: 74-75).

Dalam ranah intelijen, neurosains mampu memberikan insight terhadap budaya asing, dalam artian melalui observasi terhadap respons-respons otak. Seorang saintis dapat mengetahui subtle cultural tacts yang sulit diketahui dan juga bagaimana kultur yang berbeda memproses informasi secara berbeda. Ini berguna untuk institusi intelijen, karena dengan ini mereka mampu mengetahui bias kognitif kultur tertentu dan menghindarinya untuk mendapatkan informasi yang tepat. Teknologi neuro juga mampu memberikan insight pada preferensi perilaku dan group dynamics. Kemudian teknologi ini dapat digunakan untuk memprediksi gejolak-gejolak sosial. Terakhir, teknologi ini mampu meningkatkan kemampuan deteksi, deception, counter-intelligence yang esensial untuk institusi intelijen (Krishnan, 2017: 95-96).

Dalam ranah performance degradation, riset-riset yang ada masih belum bersifat konklusif, namun di antaranya adalah stun weapon akustik atau elektromagnetik yang mampu memberikan otak sensasi tertentu yang mampu melumpuhkan musuh.  Riset domain ini juga menunjukkan bahwa radiofrequency atau microwave mampu mengubah kapasitas mental namun penggunaannya terbatas pada jarak-jarak tertentu. Ada juga riset yang mengatakan bahwa exposure terhadap gelombang radio mampu menciptakan kondisi mental yang unfavorable dan mungkin menciptakan penyakit-penyakit fisik. Selain itu, ada pula kemungkinan di masa mendatang untuk melakukan mind control (Krishnan,  2017: 137-138).

Pertanyaannya kemudian, di mana letak teknologi ini dalam periodisasi cara berperang?

Krishnar (2017: 171) menyebut bahwa ‘pikiran’ merupakan domain perang ketujuh. Analisis yang diberikan Krishnar benar-benar menarik, tetapi kekurangan dari analisis ini adalah ia tidak meng-kontekstualisasi-kan teknologi ini dalam periodisasi cara berperang yang lebih besar. Jika ditelisik lebih jauh, teknologi-teknologi sebelumnya, bahkan otomasi, belum mampu mengubah domain ketujuh atau pikiran manusia. Secara sederhana, teknologi ini mampu mengubah cara manusia berperang.

Pertanyaan lanjutannya adalah apakah teknologi ini sudah diaplikasikan dalam konteks Transformasi Militer (organisasi, teknologi, doktrin)?

Apa yang dilakukan Krishnar di akhir karyanya adalah memberikan prediksi bagaimana kemungkinan teknologi neuro diaplikasikan dalam perang. Ia melihat doktrin militer Rusia yang menonjolkan ‘penggunaan informasi’ untuk menghancurkan political will musuh untuk berperang (Krishnar, 2017: 173-195). Melihat penjelasan aplikasinya di atas, hal ini mungkin saja dilakukan. Dari analisisnya, kita dapat menyimpulkan bahwa teknologi neuro hadir sebagai pelengkap dalam doktrin dan struktur yang sudah “mengakomodir keberadaannya”. 

Permasalahan dalam analisisnya adalah (1) Krishnar tidak membahas teknologi neuro yang dikembangkan oleh Rusia, ia justru hanya memberikan analisis prediktif kondisi teknologi neuro paling mutakhir di Amerika Serikat dan mencocokkan kemungkinan penggunaannya oleh Rusia berdasarkan doktrin militer Rusia; (2) ia tidak membahas soal doktrin dan struktur militer Amerika Serikat saat ini, padahal yang ia bahas secara detail adalah teknologi neuro Amerika Serikat. Berdasarkan National Defense Strategy dalam segmen “Build a More Lethal Force” tidak disinggung soal bagaimana teknologi neuro diintegrasikan dalam upaya Modernize Key Capabilities. Domain ketujuh sebagaimana yang disinggung Krishnan tadi, tidak ada di dalam panduan ini (Department of Defense, 2018: 5-8). Domain ketujuh juga tidak disinggung dalam Doctrine for the Armed Forces of the United States (2017: 5-7).

Dengan demikian, dalam konteks Amerika Serikat teknologi ini mungkin baru memasuki tahap rintisan dan belum mampu mengubah level organisasi maupun doktrin dalam konteks transformasi militer.

Kesimpulan

Dari pembahasan tersebut dapat kita ketahui bahwa teknologi neuro mempunyai potensi mengubah perang, karena ia mampu memodifikasi pikiran manusia. Hal ini belum pernah dilakukan teknologi sebelumnya. Namun potensi teknologi neuro belum terealisasi karena belum  terintegrasi dalam triad transformasi militer, sehingga ia belum bersifat operasional. Dengan demikian, saat ini teknologi neuro masih stuck pada taraf potensi mengubah cara berperang dan belum mengubah perang, karena ia belum diaplikasikan.

 

 

 

 

 

 

 

Referensi

 

Department of Defense (2018) Summary of the 2018 National Defense Strategy of the United States of America.

Hoffman, F.G (2018) Will War;s Nature Change in the Seventh Military Revolution, Parameter, Vol. 47, No.4

Knox, MacGregor & Murray, Williamson (2001) The Dynamics of Military Revolution: 1300-2050, Cambridge University Press, New York.

Krishnan, Armin (2017) Military Neuroscience and the Coming Age of Neurowarfare, Routledge, New York.

Posen, Barry (1984) The Source of Military Doctrine, Cornell University Press, Ithaca.

Sloan, Elinor (2008) Military Transformation and Modern Warfare: A Reference Handbook, Prageger Security Series, London.

US Army (2017) Doctrine for the Armed Forces of the United States.

Van Creveld, Martin (1991) Technology and War: From 2000 B.C to the Present, the Free Press, New York.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *