Terorisme Sebagai Ancaman Keamanan Non-Tradisional

PENULIS: ROBITUL HAQ SAIF  
COPYRIGHT © IREC INDONESIA 2019
  1. Definisi Terorisme

Terorisme adalah sebuah kata yang sering terdengar dan digunakan dalam pembahasan mengenai tindakan yang keji dari tingkat merusak property hingga menghilangkan nyawa seseorang. Namun pada dasarnya penjelasan mengenai istilah terorisme tidak mencapai sebuah kesepakatan yang tunggal. Hoffman (1998:174) menjelaskan bahwa istilah terorisme terlalu sering digunakan tetapi dalam konteks yang masih belum pasti. definisi terorisme saat ini sering digunakan untuk menggambarkan aksi kejahatan yang mengerikan yang dirasa ditujukan kepada masyarakat, baik itu dilakukan oleh kelompok pemberontak anti pemerintah maupun pemerintah itu sendiri, sindikat kriminal terorganisir maupun kriminal pada umumnya, massa yang melakukan kerusuhan maupun kelompok militan yang melakukan protes, seringkali diberi label terorisme. Terorisme sebenarnya bukanlah mengenai sebuah tindakan kejahatan murni, namun justru lebih sering digunakan dalam tujuan yang bersifat politis serta tidak lepas dari konsep power (kekuasaan), yakni pengejaran kekuasaan, akuisisi kekuasaan, dan penggunaan kekuasaan untuk mencapai perubahan politik. Selanjutnya Hoffman (1998:180) menyumbangkan sebuah definisi atas terorisme yakni sebuah tindakan menciptakan dan mengeksploitasi ketakutan melalui kekerasan atau ancaman akan kekerasan dalam mengejar perubahan politik. Melalui publisitas yang dihasilkan dari kekerasan yang diciptakan, teroris berusaha mendapatkan pengaruh dan kekuasaan yang tidak mereka miliki untuk memberi dampak perubahan politik baik dalam tingkat maupun internasional.

2. Pergeseran Makna Teror dalam Terorisme

Kelompok teroris saat ini tidak mengakui secara terang terangan mengenai aksinya, berbeda dengan pada sebelum tahun 1950an. saat ini kelompok teroris lebih sering bersembunyi dibalik istilah kelompok gerilya, pejuang kebebasan. (Hoffman, 1998:175).

teroris menganggap dirinya sebagai pejuang yang didasari oleh adanya keputusasaan dan tidak ada pilihan lain untuk melakukan kekerasan terhadap negara yang menekan, kelompok nasionalis, kelompok etnis, maupun tatanan internasional yang tidak responsif. ini yang menjadikan teroris berbeda dengan jenis ekstremis politik atau individu yang melakukan aksi ilegal.

Dalam aksinya, teroris tidak pernah menganggap dirinya teroris, justru mereka menganggap negara atau sistem adalah teroris sebenarnya. Seperti pernyataan Jenkins (n.d) yang dikutip Hoffman (1998) dalam tulisannya bahwa jika salah satu pihak berhasil memberi label teroris kepada pihak tertentu maka dia akan mendapatkan dukungan dari pihak lain karena alasan moral (dari sisinya) yang berhasil disampaikan tersebut. Jika seseorang merasa menjadi korban atas aksi kekerasan, maka aksi tersebut dianggap sebagai terorisme. tetapi jika aksi kekerasan mendapat simpati dari orang lain maka itu bukan aksi terorisme. Dari sini terlihat begitu mudah seseorang mempermainkan istilah terorisme hanya dengan merubah bagaimana cara mempengaruhi opini public terhadap aksinya.

Hoffman (1998:178) mengeksklusi tindakan teroris sebagai prajurit perang karena melanggar ketentuan-ketentuan yang disepakati dalam perang. Meski dalam beberapa kasus para teroris mengkategorikan dirinya sendiri kedalam pasukan gerilya, namun terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antar keduanya. persamaannya adalah dua-duanya kerap menggunakan taktik pembunuhan, penculik, mengebom tempat umum, menyandera, dll). namun perbedaannya adalah gerilya terdiri dari jumlah yang lebih banyak dan beroperasi sebagai satuan militer serta berusaha merebut teritory atas nama kedaulatan. teroris menghindari kontak senjata langsung. Namun teroris berbeda pula dari penjahat kriminal biasa yang bergerak berdasarkan dorongan pribadi dan bertujuan merebut hak orang lain (materil), tidak berusaha mempengaruhi opini.

3. Terorisme Bunuh Diri (Suicide Terrorism)

Dari berbagai macam aksi terorisme, pasca tragedi 11 September (pengeboman Gedung World Trade Centre di Amerika Serikat, yang kemudian dikenal dengan tragedi 9/11) terorisme bunuh diri mendapatkan perhatian yang serius dari masyarakat baik kalangan sipil hingga petinggi pemerintahan. Aksi terorisme bunuh diri tentu mendapatkan berbagai tanggapan, meski mayoritas memandangnya secara negatif, namun beberapa berfokus pada apa dasar aksi bunuh diri dipilih oleh para teroris dalam aksinya. Dugaan awal adalah terorisme bunuh diri merupakan tindakan irasional sehingga memfokuskan pada gerakan berbasis agama. (Pape, 2003:198) Pape juga menjelaskan bahwa mulanya, hasil dari penelitian psikologis para pelaku didapatkan bahwa pelaku bom bunuh diri adalah berasal dari kalangan tidak berpendidikan, pengangguran, terisolasi dari kehidupan sosial, jomblo di usia akhir belasan atau awal 20an. tetapi seperti yang kita ketahui saat ini siapa saja berpotensi menjadi teroris bunuh diri baik dia lulusan perguruan tinggi maupun tidak, menikah atau tidak, wanita atau pria, menutup diri atau tidak, dan dari rentang umur 13-47, serta berasal dari gaya hidup apa saja, sehingga semakin sulit mengidentifikasi potensi keterlibatan seseorang terhadap aksi terorisme bunuh diri.

Namun Meski pelaku bom bunuh diri terkesan irasional, tetapi pemimpin dibaliknya tidak. Menurut sudut pandang organisasi teroris, aksi bunuh diri dirancang unyuk mencapai tujuan politik tertentu, yakni : (1) Memaksa pemerintah yang dituju untuk merubah kebijakan, untuk memobilisasi calon teroris, dan menggalang dana, atau semuanya; (2) Terorisme bunuh diri merupakan bentuk ekstrim dari yang disebut Thomas Schelling sebagai “The rationality of Irrationality”, dengan aksi yang mendemonstrasikan kredibilitas organisasinya kepada audiens bahwa aksi yang lebih besar akan segera hadir. Pape (2003) mengambil Jangkauan tahun 1980 hingga 2001 untuk menjelaskan bagaimana organisasi teroris menilai aksinya sebagai keberhasilan dan mengevaluasi sebatas apa kemampuan koersi/pemaksaannya. Kemudian didapatkan kesimpulan bahwa:  (1) aksi bunuh diri adalah stategis; (2) aksi Terorisme memaksa negara-negara demokrasi modern untuk dapat menentukan nasibnya sendiri. Sejak 1980 target teroris adalah negara yang berbentuk demokrasi; Selama 20 tahun terorisme bunuh diri semakin meningkat karena dianggap membuahkan hasil; (3) Aksi yang ambisius justru beresiko besar gagal. Karena jika dilakukan secara terus menerus justru itu membantu negara untuk memitigasi keperluan masyarakat. (4) Cara untuk meredam adalah dengan menurunkan kepercayaan diri teroris dengan mengabaikannya dan berfokus meningkatkan pertahanan di perbatasan dan aspek lain yang menjadi tujuan keamanan negara.

Tujuan utama aksi bunuh diri untuk merubah kebijakan khususnya negara demokrasi untuk menarik pasukannya di wilayah yang dianggap teroris sebagai kampung halamannya. Masih berdasarkan Pape (2003), terdapat tiga kecenderungan dalam logika aksi bunuh diri : (1) timing. aksi dilakukan secara teratur, tidak acak; (2) tujuan berbasis nasionalisme yakni mengusir pasukan asing dari wilayahnya; dan (3) pemilihan sasaran, data membuktikan bahwa dua dekade terakhir aksi terosime menyasar negara demokrasi.

Aksi Terorisme melibatkan penggunaan kekerasan oleh organisasi non-pemerintah untuk mengintimidasi atau menakuti audiens sasaran. Organisasi teroris dan pemerintah memiliki tingkat sumberdaya yang berbeda, insentif yang berbeda, serta tekanan yang berbeda. Secara umum terorisme memiliki 2 tujuan yaitu mendapat dukungan dan memaksa lawan. Dalam tulisannya, Pape (2003) menjelaskan bahwa terdapat tiga bentuk terorisme : (1) Terorisme demonstratif, tujuan utamanya mencari publisitas dengan maksud merekrut lebih banyak aktifis, mendapat perhatian dari duka yang diberikan oleh pihak lain, dan mendapat perhatian dari pihak ketiga yang bisa jadi memberi tekanan dari sisi tersebut; (2) Terorisme destruktif, memaksa lawan sekaligus memobilisasi dukungan atas penyebab dilakukannya aksi tersebut. Siap menimbulkan korban dan kehilangan simpati; dan (3) Terorisme bunuh diri, mencapai paksaan yang bahkan tidak mendapat dukungan dari sesama komunitas teroris. Tidak mengharapkan keselamatan. Mungkin mendapatkan dukungan dari kelompok radikal.

  1. Elemen Terorisme dalam Militer Negara

Militer bisa menggunakan 2 strategi yakni denial dan punishment. Denial mencapai pemaksaan dengan cara menunjukkan bahwa negara lawan itu tidak akan mampu mengalahkan meski sampai perang berakhir. Punishment meningkatkan biaya atau resiko kepada masyarakat yang disasr supaya lawan tahu nilai kepentingan yang berusaha dicapai. Terorisme hanya mampu menggunakan strategi yang kedua.  Jika umumnya pemaksaan dilakukan oleh negara yang lebih kuat kepada negara yang lebih lemah, terorisme justru sebaliknya. Terakhir, Pape (2003) menjelaskan bahwa aksi terorisme bunuh diri dapat meningkatkan dampak paksaan dalam tiga cara : (1) Lebih destruktif disbanding aksi terorisme lainnya. Dapat menyembunyikan senjata dalam tubuhnya dan dapat melakukan perubahan strategi di menit terakhir. Lebih dapat menerobos penjagaan ketat karena mereka tidak membutuhkan escape plans, (2) Dapat meyakinkan bahwa aksi yang lebih kejam akan terjadi, dan (3) Meningkatkan kredibilitas, karena aksi yang melanggar norma. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kedekatan hubungan antara pendudukan kekuatan asing terhadap jumlah terorisme bunuh diri di wilayah tersebut harusnya dapat menghentikan sementara upaya penaklukan negara lain yang bertujuan merubah sistem politiknya.

  1. Argumentasi

 Berdasar pada penjelasan dan analisis yang telah dipaparkan diatas, penulis berargumen bahwa terdapat sebuah elemen penting dalam terbentuknya terorisme dan tujuan dilakukannya terorisme. Kebebasan berekspresi adalah elemen tersebut. Sebelumnya telah dipaparkan bahwa terorisme muncul dengan muatan politik dan memandang bahwa terdapat kekuatan lain yang dianggap merugikan khalayak dalam persepsinya. Tanpa memerlukan persetujuan atas aksinya, para teroris menganggap aksi yang dilakukannya adalah demi kepentingan umum sehingga secara otomatis menganggap pihak yang dilawannya adalah pihak yang menimbulkan kerugian sehingga harus dimusnahkan atau setidaknya dirubah cara pandangnya. Hal ini semua berakar dari adanya kebebasan mengemukakan pendapat dari seorang oknum yang kemudian mengumpulkan massa untuk mendukung apa yang menurutnya benar, dan meyakinkan mereka bahwa apa yang dilakukannya adalah benar. Dalam negara yang tidak mengizinkan kebebasan berpendapat maka aksi semacam ini akan sulit untuk berkembang dibandingkan ketika dilakukan di lingkungan yang mudah menerima pendapat.

Kemudian, berdasarkan paparan sebelumnya, terorisme hamper selalu menyerang nilai demokrasi. Demokrasi yang dianggap tertanam oleh negara barat menjadi sebuah musuh yang dianggap akan mengancam wilayah yang ingin dilindungi oleh para kelompok teroris tersebut. Inilah yang menjadi sebuah teka teki yang harus dipecahkan, yakni bagaimana kebebasan berpendapat sebagai elemen utama dalam demokrasi justru memunculkan bermacam gerakan yang seringkali dapat mengancam dan mengkontra demokrasi itu sendiri.

 

Referensi

Hoffman, Bruce. 1998. What is Terrorism, dalam Art, R. & Jervis, R. 2009. International Politics: Enduring Concepts and Contemporary Issues, 9th Ed. New York:    Pearson-Longman

Pape, Robert A. 2003. The Strategic Logic of Suicide Terrorism, dalam Art, R. & Jervis, R.           2009. International Politics: Enduring Concepts and Contemporary Issues, 9th Ed.            New York: Pearson-Longman

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *