I. Pendahuluan
Tulisan ini merupakan tinjauan dari The Changing Face of Warfare karya Robert Ayson. Pertanyaan utama dari tinjauan ini adalah “melihat perkembangan teknologi, khususnya dunia siber yang ada saat ini, apakah poin Ayson masih relevan?” Tinjauan ini disegmentasi dengan (1) memberikan ringkasan tulisan Ayson (2) Mendiskusikan implikasi teknologi terhadap perang (3) memberikan kesimpulan. Secara umum, tinjaun ini mendukung tesis Ayson “Perang tidak berubah, yang berubah hanya cara berperang”
II. Ringkasan
Teki-teki yang ingin dipecahkan oleh Robert Ayson adalah “Apakah karakteristik perang berubah pada Abad 21?” Menurut Ayson, cara berperang berubah, tapi karakteristiknya sama saja.
Alasan Ayson adalah;
1) Perang yang didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan terorganisir untuk mengubah perilaku pihak tertentu, ternyata belum dapat mengatasi masalah collateral damage Teknologi yang dijanjikan dapat meminimalisir kerusakan, mendiskriminasi kombatan dan non-kombatan ternyata tidak begitu berpengaruh.
2) Ancaman perang Abad 21 masih berkutat pada perang antar negara. Perang antara negara-negara demokratik di Eropa dan Atlantik Utara memang hampir tidak mungkin, namun perang bukan antar negara bukan berarti tidak dapat terjadi. Ayson mencontohkan Cina dan presensi pangkalan militer AS di berbagai wilayah berpotensi mengeskalasi konflik dan menimbulkan perang.
3) Perang selalu dilandasi oleh motivasi politik. Perang merupakan aksi politik dalam bentuk yang paling ekstrem. Motivasi politik tidak hanya nasionalisme tetapi juga pendirian kekhalifan, tekanan terhadap AS agar keluar dari Timur Tengah dan sebagainya. Pada intinya, motivasi beragam namun masih dapat diklasifikasikan dalam satu kategori.
4) Perang selalu tidak pasti. Keberhasilan perang ditentukan oleh aksi pihak lain yang terlibat dalam perang. Ayson menganalogikannya seperti permainan poker, kartu Anda bagus tidak menjamin Anda menang.
5) Tidak ada skala yang absolut dalam mengukur perang. Alih-alih mengukur dengan skala kuantitas 1000 kematian per tahun seperti yang dilakukan oleh University of Michigan, peneliti harus menggunakan indikator kualitatif, sebagaimana yang dikemukakan di atas.
Perang Abad 21 dan Abad 20, bisa dianalogikan sebagai mobil. Di Abad 20 mobil menggunakan mesin big block yang berat, di Abad 21 sudah ada mobil listrik seperti Tesla, namun tetap saja kedua-duanya adalah mobil.
III. Teknologi dan Perang
Teknologi didefinisikan sebagai cara merekayasa dunia materiil untuk kebutuhan manusia (Roland, 27/2/2009). Bagi Roland, teknologi tidak menjadi determinan utama yang mengubah perang (Roland, 27/2/2009), teknologi hanya merubah membuka peluang baru mengenai cara berperang (Roland, 27/2/2009). Senada dengan Roland, Singer juga mengatakan bahwa, di atas segalanya perang merupakan salah satu bentuk interaksi antar manusia (Singer, 2012: 470), baginya teknologi hanya dapat membuka sebuah domain baru dalam perang (Singer, 2012: 469).
Eksistensi dunia siber merupakan salah satu konsekuensi dari perubahan teknologi. Dunia siber didefiniskan sebagai bidang di jaringan komputer di mana informasi disimpan, dibagikan, dan dikomunikasikan (Singer, 2014: 13). Sebagian melihat dunia siber sebagai bidang baru tempat militer suatu negara bersaing di luar matra darat, udara dan laut (Libicki, 2009: 12), dengan demikian negara mempunyai opsi baru mengenai bidang mana yang harus diserang dan dipertahankan (Libicki, 2009: 31). Oleh karena itu secara konseptual dan riil, tidak ada perubahan fundamental dari perang.
Mendukung pernyataan ini, Singer melihat bahwa perang siber secara fundamental memiliki karakteristik yang sama dengan perang konvensional (Singer, 2014: 121 & 123). James A. Lewis juga mendukung pernyataan Singer dengan menyebutkan bahwa dalam perang siber, objek utama yang menjadi tujuan penguasaan adalah “kognisi” alih-alih infrastruktur fisik (Lewis, 2018: 2). Bagaimana dengan serangan siber yang tidak memberikan menunjukan karakter kekerasan? Singer menjawab bahwa secara analitis serangan siber harus dibedakan dengan perang siber.
Terdapat suara lain, yang menyatakan bahwa dunia siber merubah perang secara fundamental, karena mengaburkan antara kombatan dan non-kombatan (Finkelstein & Govern, 2015: xiv) dan juga megaburkan batas-batas negara karena perang siber dilakukan di luar batas-batas fisik (Finkelstein & Govern, 2015: xvi) oleh karena itu, masalah timbul pada aspek legal perang. Senada pula dengan argumen di atas, Goldsmith mengemukakan bahwa perang siber merubah cara perang diregulasi (Goldsmith, 2013: 133). Begitu juga dengan Rabkin, yang melihat bahwa dunia siber menjadi perang harus diregulasi secara per-kasus (Rabkin, dalam diskusi di American Enterprise Institute, 12/9/2017)
Namun, jika kita kembali poin Ayson, kubu yang menyatakan teknologi, khususnya dunia siber, merubah perang, sama sekali tidak menggoyahkan poin-poin Ayson karena (1) yang mereka tekankan adalah aspek legal dari perang (2) dan lebih lagi, aspek legal sendiri merupakan turunan dari perang (Cerar, 2009: 19) (3) dengan demikian tidak ada perubahan fundamental dalam perang
IV. Kesimpulan
Poin Ayson masih relevan, karena perubahan ditujukkan bukan merujuk “fundamen perang” tetapi pada “cara berperang”. Dengan demikian, akan lebih produktif bila penelitian-penelitian terkait perang dan teknologi selanjutnya diarahkan secara spesifik untuk menjelaskan perubahan “cara berperang”, bukan untuk membuktikan bahwa “fundamen perang yang berubah”
Referensi
Buku
Singer, P.W. & Friedman, A. (2015). Cybersecurity and Cyberwar: What Everyone Needs to Know, New York, NY, Oxford University Press.
Libicki, M.C (2009). Cyberdeterrence and Cyberwar, Santa Monica, CA, Rand Corporation
Jurnal
Cerar, M. (2009) The Relationship Between Law and Politics, Annual Survey of International & Comparative Law, 15(1)
Finkelstein, C.O & Govern, K.H (2015) Introduction: Cyber and the Changing Face of War, Faculty Scholarship Paper, Paper 1566
Goldsmith, J. (2013). How Cyber Changes the Laws of War, The European Journal of International Law, 24 (1)
Singer, P.W (2012), Interview with P.W Singer, International Review of the Red Cross, 94(886)
Lewis, J. A. (2018) Cognitive Effect and State Conflict in Cyberspace, Washington, DC, Center For Strategic & International Studies.
Artikel Daring
Roland, Alex (2009, 27 Februari). War and Technology, Foreign Policy Research Institute, diakses dari < https://www.fpri.org/article/2009/02/war-and-technology/>
‘Striking Power: How Cyber, Robots, and Space Weapons Change the Rule of War’ (2017), American Enterprise Institute, diakses dari <http://www.aei.org/events/striking-power-how-cyber-robots-and-space-weapons-change-the-rules-for-war/>
Artikel yang anda tulis sangat menarik. Konsep perang yang hingga saat ini masih cukup banyak diperdebatkan, namun dalam perang harus ada 2 pihak atau lebih yang terlibat. Sedangkan disisi lain, dunia siber menawarkan konsep anonim yang menyulitkan kita untuk mengamati pihak-pihak yang terlibat. Kemudian yang menjadi permasalahan berikutnya, jika kita tidak dapat menunjukan pihak pihak yang terlibat apakah konsep perang masih tetap berlaku? dan apakah perang siber tetap bisa di definisikan sebuah perang?. Saya harap pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menjadi pemicu bagi penulis dan para pemikir yang menggeluti topik yang sama. Terimakasih