EDITOR: HASYA HANIFAN DAN MUSFIROH
PENULIS: MUHAMMAD FATAHILLAH
COPYRIGHT © IREC INDONESIA 2019
Minggu, 16 Juni 2019 menjadi hari yang bersejarah bagi para penggemar film Men in Black (MIB) karena pada hari itu seri baru MIB dirilis dengan judul “Men in Black: International”. MIB merupakan film bergenre fiksi ilmiah yang dibumbui dengan adegan aksi serta komedi. Film tersebut berkisah tentang interaksi antara manusia dengan mahluk dari planet lain atau yang sering kita sebut sebagai “alien”. Dalam interaksi antara manusia dengan alien, pemerintah Amerika Serikat membentuk dinas rahasia yang secara khusus menangani permasalahan antar galaksi guna melindungi bumi dari serangan alien jahat. Para agen yang bertugas di dinas rahasia tersebut mengenakan seragam khas berupa setelan jas hitam dengan kemeja putih sehingga menyandang gelar “Men in Black”.
Film Men in Black (MIB) pertama kali dirilis pada tahun 1997 dengan sutradara Barry Sonnenfeld yang menampilkan Tommy Lee Jones sebagai Kevin Brown (Agen K) dan Will Smith sebagai James Darrell Edwards III (Agen J). Penampilan Jones dan Smith dalam film MIB dapat dipandang menyimbolkan kerja sama rasial antara laki-laki kulit putih dengan laki-laki kulit hitam. Simbol tersebut mengandung pesan “kesetaraan ras” yang menjadi salah satu agenda dalam gerakan hak asasi manusia internasional pasca keberhasilan Nelson Mandela menghapus kebijakan apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1991. Sampai dengan seri film Man in Black yang berjudul MIB 3 (dirilis pada tahun 2012), wacana kesetaraan ras masih menjadi pesan tersirat yang ditampilkan oleh sutradara melalui kedua pemeran utamanya.
Film Men in Black: International yang dirilis pada tahun 2019 menampilkan wacana dan alur cerita yang baru. Jika dalam seri film MIB yang sebelumnya kedua tokoh utamanya adalah laki-laki, maka dalam film MIB: International salah satu tokoh utamanya adalah perempuan yang diperankan oleh Tessa Thompson sebagai Molly Wright (Agen M). Kehadiran Thompson sebagai salah satu tokoh utama dalam film MIB: International menunjukkan adanya wacana feminis yang hendak ditunjukkan oleh sang sutradara atau penulis cerita. Hal itu terbukti dalam beberapa adegannya yang menyinggung hal-hal berkaitan dengan agenda feminis seperti agen M yang memprotes nama “Men in Black”, agen M yang juga digambarkan sebagai perempuan tangguh dan menjadi tokoh kunci dalam melindungi bumi dari senjata pemusnah massal, serta agen M yang mengemudikan mobil dengan penumpang agen H (Chris Hemsworth).
Adegan agen M (Tessa Thompson) memprotes kata “Men” dalam singkatan MIB secara umum dapat dilihat oleh penonton film tersebut karena agen M adalah sosok agen perempuan atau karena Agen O (Emma Thompson) sebagai pimpinan MIB Cabang New York juga seorang perempuan. Akan tetapi secara khusus, adegan tersebut dapat dipandang sebagai bentuk perlawanan perempuan terhadap konsep “maskulinitas” yang selama ini selalu dinisbatkan kepada laki-laki terutama di bidang yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan. Menurut Prof. Spike V. Peterson dalam artikelnya yang berjudul “Gendered Identities, Ideologies, and Practices in the Context of War and Militerism”, dunia militer sejak dahulu merupakan tempat bagi “hipermaskulinitas” laki-laki. Maka, berbagai bentuk maskulinitas laki-laki dimobilisasi secara berbeda untuk mencapai tujuan pihak-pihak yang bertikai. Contohnya, keberhasilan dalam perang menuntut “konstelasi kualitas” dari laki-laki, yakni keunggulan kekuatan fisik, ikatan yang tak tertandingi, keberanian mengambil resiko, penggunaan kekerasan secara ekstrim dan kesiapan untuk mengorbankan hidup seseorang demi mencapai kemenangan.
Selanjutnya Prof. Spike V. Peterson menjelaskan bahwa semua tugas yang menjauhkan prajurit dari medan pertempuran semula dianggap “feminin”, namun kini ahli komputer atau operator teknologi canggih semakin diperhitungkan. Jika kita mempertimbangkan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan untuk menempati posisi-posisi tersebut, maka dimensi maskulinitas yang berkelas dan bersaing akan terlihat. Hal itu karena paradigma techno-war dalam militer Amerika Serikat menyajikan versi baru dari keunggulan (maskulinitas) Barat, yakni kecanggihan teknologi yang menghasilkan efisiensi dan kekuatan luar biasa. Meskipun demikian, Prof. Peterson memberi catatan bahwa betapa pun banyak prajurit perempuan yang berjuang untuk membuktikan dan mempertahankan identitas mereka, pola supremasi pria dan kekerasan seksual yang cukup maskulin tetap melemahkan perjuangan tersebut.
Agen M digambarkan sebagai perempuan tangguh dan menjadi tokoh kunci dalam misi MIB untuk melindungi bumi dari ancaman senjata pemusnah massal yang dicuri oleh seorang alien bernama Vungus dari Planet Jabaiba. Hal itu menunjukkan konsep “kesetaraan gender” di mana kaum perempuan memiliki hak dan dapat menikmati peluang yang sama dengan kaum laki-laki di semua sektor kehidupan bahkan dalam misi melindungi bumi sebagaimana dikisahkan dalam film MIB: International. Kemudian berkaitan dengan upaya “melindungi bumi”, Profesor Rhoda Reddock dalam Bab 2 buku “Theoretical Perspective on Gender and Development” yang diterbitkan oleh International Development Research Center pada tahun 2000 menyatakan bahwa aktivis feminis (pejuang hak-hak perempuan) berada di garis depan gerakan melawan degradasi lingkungan dan kampanye hak untuk keberlanjutan. Aktivis feminis juga berupaya untuk menembus definisi sempit dalam isu-isu kontemporer seperti perjuangan untuk perdamaian dan perjuangan melawan proliferasi senjata nuklir.
Menurut Profesor Rhoda Reddock, keberadaan aktivis feminis (pejuang hak-hak perempuan) di garis depan gerakan melawan degradasi lingkungan dilatarbelakangi oleh pandangan sebagian besar kaum perempuan bahwa selama ini diskusi tentang pembangunan terjadi dalam perspektif ekonomi pembangunan arus utama, yakni ekonomi neo-liberal. Perspektif ekonomi neo-liberal muncul dalam konteks krisis utang Dunia Ketiga di mana kebijakan restrukturisasi ekonomi dan penyesuaian struktural dianjurkan sebagai mekanisme untuk menghasilkan pendapatan guna membayar utang. Perspektif tersebut selanjutnya diwujudkan dalam bentuk program stabilisasi dan pinjaman penyesuaian struktural yang ditawarkan oleh institusi Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia untuk rekonstruksi dan pembangunan di negara-negara yang menghadapi kesulitan neraca pembayaran. Akan tetapi di Dunia Ketiga, program tersebut menuai banyak kritik karena terbukti gagal dalam menyelesaikan masalah-masalah pembangunan nasional. Hal itu membuat sebagian besar aktivis feminis melihat konsep pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari model alternatif pembangunan atau transformasi masyarakat yang lebih luas. Singkatnya, pembangunan berkelanjutan bagi banyak feminis dari belahan dunia Selatan dan Utara menyiratkan jenis baru sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya yang berorientasi pada nilai-nilai baru.
Adegan Agen M mengemudikan mobil dengan penumpang seorang laki-laki, yakni Agen H (Chris Hemsworth) bisa jadi merupakan bentuk sindiran bagi beberapa negara yang membatasi warga negara perempuannya dalam beberapa aktivitas sehari-hari khususnya menyetir mobil. Contoh negara yang pernah membatasi warga negara perempuannya untuk menyetir mobil adalah Saudi Arabia. Kebijakan tersebut diterapkan oleh pemerintah Saudi Arabia berdasarkan dalil-dalil agama yang konservatif. Namun sekarang ini kebijakan tersebut telah dihapus oleh Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman sebagai bagian dari langkah reformasi sosial yang diterapkan di negaranya. Meskipun demikian, pemerintah Saudi Arabia kembali menuai kritik internasional ketika delapan aktivis perempuan yang selama ini memperjuangkan hak kaumnya untuk dapat mengemudikan mobil justru ditahan dengan tuduhan “menjadi antek asing” beberapa saat setelah larangan mengemudi bagi perempuan resmi dicabut.
Selain merepresentasikan sosok perempuan, penampilan Agen M dalam film MIB juga merepresentasikan masyarakat kulit hitam. Maka jadilah sosok Agen M sebagai simbol feminisme perempuan kulit berwarna. Menurut Chandra Mohanty dalam buku “Third World Women and Politics of Feminism”, gender dan ras adalah istilah yang memiliki relasi karena mereka melatarbelakangi suatu hubungan (dan seringkali suatu hierarki). Mendefinisikan feminisme secara murni dalam istilah gender sama dengan mengasumsikan bahwa kesadaran kita sebagai “perempuan” tidak ada hubungannya dengan ras, kelas, bangsa, atau seksualitas (hanya dengan gender). Padahal, tidak seorang pun menjadi perempuan (women) murni karena dia adalah perempuan (female). Ideologi keperempuanan memiliki banyak kaitan dengan kelas dan ras seperti halnya dengan seks (jenis kelamin).
Demikianlah tulisan ini hendak menyajikan “perspektif baru” bagi para penggemar berat atau yang sekedar menonton film MIB khususnya seri MIB: International. Jika terdapat tulisan lain yang menyajikan perspektif atau penilaian yang berbeda dengan tulisan ini terkait dengan film MIB: International, maka hal itu adalah sebuah kewajaran yang justru dapat memperkaya khazanah keilmuan di dunia perfilman baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebab sebuah karya film memang dapat dikaji dari berbagai sudut pandang sehingga menghasilkan banyak perspektif atau penilaian. Namun selama ini memang banyak penonton film yang meluputkan pesan dalam sebuah karya film karena mereka terbuai oleh alur cerita, adegan, atau aktor dan aktris yang ditampilkan. Selebihnya penulis berharap agar seri film MIB terus berlanjut dan dapat menampilkan pesan-pesan positif lainnya yang bermanfaat bukan sekedar sebagai tontonan namun juga sebagai tuntunan bagi umat manusia untuk membangun peradaban dunia yang lebih baik.
REFERENSI
Chandra Mohanty, Third World Women and Politics of Feminism (Indiana University Press, 1991), Introduction.
Jane L. Parpart, Theoretical Perspective on Gender and Development, (International Development Research Center, 2000), Chapter 2.
Peterson, Spike V. “Gendered Identities, Ideologies, and Practices in the Context of War and Militerism”, dalam Laura Sjoberg and Sandra Via (ed). Gender, War, and Militerism: Feminist Perspective. California, Colorado and Oxford: Praeger, 2010. Page 17-29 (Chapter 1).
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/13/11/23/mwplcw-kenapa-muslimah-arab-saudi-dilarang-menyetir, diakses pada tanggal 24 Juni 2019.
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-44591574, diakses pada tanggal 24 Juni 2019.